WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

Gelap,.. Gelap Sekali

| Minggu, 05 September 2010 | 0 komentar |

Gelap di luar dan hening di dalam. Dengus napas istriku teratur. Lampu tempel sudah kumatikan. Hanya dingin malam yang menyeruak dari celah dinding bambu membuat aku menarik selimut melewati dada. Sesekali suara burung malam terdengar di kejauhan. Barangkali burung hantu yang mencari mangsa, berpindah-pindah dari satu arah ke arah lain. Tanah huma di pinggir hutan mungkin mengubah kawasan hunian binatang sekitar.

Aku sulit memejamkan mata karena nyamuk kecil yang sering mendengung dengan bunyi yang nyaring, sesekali nyamuk itu menerkam kuping. Malam semakin larut ketika merasakan ada sesuatu yang mengusik gelapnya malam. Beberapa rumah panggung terdapat di desa yang baru kami bangun, sekitar setahun yang lalu, tanah garapan baru. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya kira-kira lima puluh meter. Gemerisik sesuatu antara belukar semakin mengganggu ketika terdengar ketukan di rumah tetangga. Derap kaki bersepatu berat semakin jelas terdengar disusul dengan gedoran. Ada teriakan kasar. Aku mengintip dari celah dinding, tetapi tidak ada sesuatu yang tampak. Gelap malam memeluk rahasia malam. Teriakan terdengar ketika langkah kaki itu agak menjauh. Ada pukulan yang keras membuat teriakan lenyap. Sunyi malam mendekap.

Kugoyang-goyang tubuh istriku sambil berbisik, ”Kau dengar suara-suara ribut itu?”
Ia membuka matanya dan menggosok kelopak matanya, lalu menjawab, ”Sayup-sayup. Seolah-olah ada sesuatu yang terjadi.”
”Apa, ya?” kataku seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
Beberapa menit kami tenggelam dalam hening.
Sepanjang malam kami tidak dapat tidur, tak juga berani berbicara atau menduga-duga apa yang terjadi. Rasanya malam merangkak amat lama.
Subuh, ada tangisan dari arah tetangga sebelah.
Ketika ayam berkokok, aku memberanikan diri turun tangga rumah, dan bergegas ke rumah sebelah.
Beberapa orang tetangga lain sudah ada di situ. Aku bergabung dengan mereka.
”Ada apa?” kataku.
Seorang kepala dusun yang kami angkat sendiri malah balik bertanya, ”Tidakkah Saudara dengar peristiwa tadi dalam?”
”Ya, kudengar langkah kaki, gedoran dan orang berteriak karena dipukul. Aku tidak berani keluar. Sepanjang malam aku dilanda rasa takut,” kataku.
Tarmin, kepala dusun itu, kemudian berkata, ”Suami ibu ini tadi malam diculik orang, juga Turman yang tinggal di ujung dusun.”
”Oleh siapa?” tanyaku.
”Belum tahu.”
Tangis ibu Saleh tak henti- henti.

Kepala dusun pagi sekali menghubungi ketiga belas keluarga yang tinggal di perhumaan itu. Kami berkumpul di rumahnya. Yang hadir hanya sebelas kepala keluarga. Dua orang yang hilang pada malam itu. Saleh dan Turman. Saleh si pendiam namun mudah menolong orang. Turman si pemberani yang mendorong kami memulai menggarap tanah di pinggir hutan itu. Menurut kami, kedua orang itu adalah teladan dalam segala hal.

Kurang lebih setahun sebelumnya, kami membuka ladang baru, tanah huma. Jauh dari kampung halaman kami. Jarak kampung halaman kami lebih seratus kilometer, dan untuk sementara kami meninggalkan anak-anak bersama kakek-nenek di tanah leluhur yang sudah sesak penduduk.

Sebagai ladang baru, hasilnya lumayan. Tanah huma membuat tanaman subur, pada panen pertama tentunya. Kami memasuki tahun kedua dalam suasana dusun yang tenang. Rasa persahabatan dan kekeluargaan lebih menonjol daripada sikap bersaing. Kami mengalami nasib yang sama di tanah leluhur yang semakin sempit karena pertambahan penduduk. Rasa persaudaraan yang tinggi terbentuk karena penderitaan yang sama, dan memiliki harapan yang sama. Mengubah nasib. Walaupun di ladang yang sangat bergantung kepada kemurahan alam, hujan.

Pertemuan hari itu sarat dengan usul cara menjaga keamanan dusun.
”Tapi penculikan ini, melihat dari jejak kaki,” kata Sahir, ”rasanya adalah jejak kaki orang bersenjata api.”
Yang lain-lain terdiam.
”Jangan-jangan ketika kita jaga malam, justru dengan lebih mudah diculik satu demi satu,” katanya melanjutkan.
Seminggu kemudian, dalam kantuk yang penat, menjelang subuh aku tertidur lelap. Baru saja beberapa menit terlelap, aku mendengar pintu digedor dan tiba-tiba menganga karena didobrak dari luar. Dalam sekejap beberapa sosok tubuh merangsek ke dalam membuat istriku tiba- tiba menjerit. Tamparan di mukanya membuatnya terhuyung dan diam dalam jerembab. Beberapa tangan yang kokoh menarik kedua tangan dan kakiku. Aku diseret dalam kegelapan malam. Mereka menggelandang tubuhku dan mengikat kedua tanganku ke belakang. Mulutku dibekap dengan sepotong kain. Dalam gigitan malam yang dingin menyengat, mereka melemparkan tubuhku ke dalam sebuah truk yang menunggu di tepi jalan. Aku merintih kesakitan. Kutahu ada orang lain di dalam truk itu karena kaki mereka bersentuhan dengan kakiku.

Sebelum kabut meninggalkan malam, truk berhenti di sebuah tempat. Kudengar suara-suara orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku diturunkan dari truk bersama sembilan orang lainnya yang tampaknya senasib denganku. Tidak seorang pun dari antara mereka yang kukenal.

Kami digiring ke sebuah rumah gedung tua yang tampak kokoh dari luar. Ada penjaga bersenjata di segala sudut. Di sebuah ruangan satu demi satu kami diempaskan ke lantai. Ikatan tangan kami dilepaskan satu demi satu. Nyeri rasa luka di bekas ikatan itu. Menjelang siang seorang berwajah garang duduk di belakang meja reyot, dan kami duduk di kursi rotan di hadapannya. Satu demi satu kami ditanyai: nama, keluarga, alamat, asal-usul, pekerjaan, sejak kapan masuk organisasi politik, siapa pemimpinnya, dan macam-macam jenis pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti.

Sore itu perut diisi dengan beberapa potong ubi rebus. Tengah malam, ketika perut masih keroncongan, namaku dipanggil dari kamar berukuran tiga kali empat meter yang dihuni dua belas orang. Aku berdiri dan menuju ke sebuah ruangan. Dari ruangan lain kudengar jeritan orang dipukul. Aku duduk dan tidak dapat menjawab pertanyaan interogator itu. Lalu ia tuduh aku masuk gerakan tutup mulut (GTM). Ia lalu berdiri di belakangku dan memegang dagu dan kepalaku, mencoba memutar leherku. ”Jawab! Atau kupatahkan lehermu!”

Aku diam saja. Kemudian ia melepaskan kedua tangannya, tapi menohok punggungku membuat aku jatuh pingsan. Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tengah-tengah kawan seselku. Mereka mengoles punggungku dengan minyak kelapa. Aku belum mampu memusatkan pikiran untuk mendengar apa yang dikatakan mereka. Jamahan tangan mereka sedikit melegakan rasa sakitku.

Sebulan kemudian aku mendengar secara sembunyi-sembunyi dari sesama tahanan bahwa hampir semua lelaki di dusunku sudah ”diangkat” dan kaum perempuan melarikan diri ke orang tua mereka masing-masing. Beberapa kawan seselku ”pergi” dan tidak pernah kembali, diganti dengan tahanan baru, sampai pada akhirnya aku sendiri pun dipanggil bersama beberapa orang yang dahulu ditangkap bersamaku.

Menurut pengawal yang melemparkan kami ke dalam truk, kami akan dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman, tenteram, pembebasan. Karena ia mengatakannya dengan senyuman dengan mata mengejek, yakinlah aku bahwa inilah hari akhir dalam kehidupanku. Wajah anak- anakku, istriku, melintas silih berganti di benakku. Tubuh-tubuh yang kurus bagai paku tipis yang karatan mungkinkah dibebaskan ke tempat yang nyaman dan tenteram? Aku tidak tahu dosa apa yang membuat aku harus mengalami derita seperti ini. Sampai bulan-bulan terakhir aku hendak di-”bebaskan” tidak ada pengakuan apa pun yang keluar dari mulutku. Pernah aku berpapasan dengan seorang interogator yang rasanya pernah kukenal dan memalingkan wajah daripadaku ketika sekilas bertatap mata. Diakah biang keladi dari derita lelaki dari dusunku? Ah, tidak berani aku berburuk sangka. Semua orang ingin mencari selamat sendiri.

Bayangan dalam benakku, anak-anak akan telantar, istriku dalam kesetiaannya harus banting tulang memberi makan mereka. Dan cap dalam keluarga, mereka termasuk turunan yang dianggap kutuk bagi bangsa ini.
Tiba-tiba hatiku menjerit. ”Tuhan, lindungilah mereka!”
Tendangan di pantatku menyadarkan aku. ”Ayo, naik! Naik! Naik!”
Truk menggelegar memecah kegelapan malam. Kami benar- benar menjadi warga kegelapan. Gelap dalam sel. Gelap dalam pertanyaan yang tak kunjung berjawab. Semuanya gelap gulita!
Berjam-jam kami yang ada di dalam truk diam dalam bahasa hati kami sendiri. Bahasa batin dengan kisah gelap. Karena telah terbiasa di dalam kegelapan malam dan siang, aku dapat menyaksikan celah antara kegelapan dan remang-remang malam. Truk berhenti di mulut sebuah jembatan yang besar dan panjang. Kami semua diturunkan dan berjalan satu demi satu menuju tengah jembatan, di sisi jembatan bagian tengah yang rusak penahannya.

Aku berjalan di barisan paling akhir dari lima belas orang. Orang yang berada di barisan depan disuruh berhenti di pinggir jembatan. Tiba-tiba sekelebat pedang yang terayun menebas lehernya. Ada lengkingan dan bunyi kepala ya berdebuk ke dalam sungai yang mengalir deras disusul gedebuk tubuh yang terempas ke dalam air. Selang beberapa menit suara yang sama bergenta, sampai giliranku pun tiba. Dalam kepergian malam, dalam sunyi air yang mengalir, dalam remang gelap, aku menyaksikan pedang yang berayun semakin melemah. Aku berdiri dan melihat pedang yang dientakkan. Dalam detik yang sama aku membungkuk dan terjun ke dalam sungai. Ikatan tangan yang telah kukendurkan dan ikatan tali di kaki yang merenggang membuat aku menyelam lebih mudah bergerak dalam kedalaman dan arus sungai. Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan sementara arus terus membawa aku hanyut. Di dalam alun arus, aku semakin menepi sampai aku mampu berpijak di dasar sungai dan berjalan sambil merangkak menyusuri batu-batu.
Kulepaskan ikatan tangan dengan susah-payah, kemudian tali dari kaki. Air yang dingin menambah perihnya goresan tali. Aku merangkak ke tepi sungai dan mencoba mendengarkan langkah kaki. Tidak ada. Di kejauhan ada deru kendaraan yang semakin lama semakin hilang.

Berjam-jam aku berjalan dalam keremangan gelap malam, menyusuri tepi sungai dengan keyakinan bahwa lambat atau cepat pasti di sekitar alur sungai ada kampung terpencil. Dengan pakaian yang basah-kuyup dan langkah yang goyah, aku berjalan sejauh-jauh jarak yang dapat kutempuh.

Matahari mulai muncul di celah gunung. Aku tidak tahu di daerah mana aku berada. Di tepi sungai ada pisang yang sedang berbuah, merunduk rendah. Buah yang matang tapi ketika kukunyah, banyak batunya. Pisang monyet. Aku menduga, bila monyet pun bisa makan buah pisang monyet, pastilah manusia pun bisa. Tidak jauh dari sana ada durian belanda. Aku memanjatnya, dan mengambil buah yang ranum. Aku berterima kasih kepada Tuhan bahwa bumi ini kaya dengan kemurahan-Nya. Kukeringkan pakaianku di atas batu dan mereguk air dari pinggir sungai, yang tergenang dan bening. Ada mata air di situ. Setelah kekuatanku pulih, aku berjalan dan berjalan, menyongsong matahari yang terbit.

Di kaki gunung, tepatnya sebuah lembah yang landai, aku menemukan sebuah gubuk. Kukira gubuk itu milik pemilik ladang di situ. Kuketuk pintunya. Seorang lelaki tua dan ibu yang sudah berumur membuka pintu. Dari wajah mereka kulihat rasa terkejut. Aku memperkenalkan diri dan memberitahukan tentang diriku yang sebenarnya, dan pelarianku. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk mengerti. Mereka mempersilakan aku sarapan pagi dengan pisang rebus.

Rasanya aku berminggu- minggu bersama mereka. Aku membantunya di ladang karena aku jauh lebih muda dari mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa berlama-lama dengan mereka. Setelah tubuhku pulih betul aku pamit dan mendaki gunung menuju ke tanah seberang. Kata orang tua itu, di seberang ada laut.

Bertahun-tahun aku menjadi kuli pelabuhan atau ikut nelayan pada malam hari. Siang hari aku tidur dan malam melaut bersama nelayan, atau kalau musim ombak, menjadi kuli pelabuhan bagi tongkang dan kapal yang merapat malam. Sesekali aku mencari tahu keberadaan istriku dari orang yang sebahasa denganku. Setelah berbulan-bulan, aku mendapat informasi mengenai alamat mereka, dan mengirimkan upah yang kuperoleh. Kiriman berikutnya tidak dapat kulakukan karena pada suatu hari aku berpapasan dengan seorang bekas interogatorku. Ia terkejut melihatku. Aku pun terkejut melihatnya. Aku cepat-cepat menghilang. Pergi ke laut, masuk tongkang yang hendak berlayar berbulan-bulan di laut, menjual ikan ke seberang.

Malam-malam berbintang, aku menghitungnya. Hari-hari pelarianku yang tidak kutahu kapan akan berakhir.
Sepuluh tahun? Dari beberapa pelabuhan, kukirim upahku, kepada anak-anakku. Tanpa alamat, karena aku bersama bintang di laut dengan pelaut yang tidak peduli pusaran politik. Mereka hanya peduli pusaran arus laut.

Alam keras membuat mereka hidup. Dan di sanalah aku merajut nasibku juga.
Sampai berpuluh tahun kemudian, iklim politik pun berubah, sekalipun laut tetap bergelora! Laut mengajariku untuk tabah.
READ MORE - Gelap,.. Gelap Sekali

Hantu Nancy

| | 0 komentar |
Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu. Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.

***

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat.

”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”
Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.
”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.
Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.
Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.
”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.
Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.
”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”
Membalik badan, Senin bertanya kenapa.
”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”
Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa sampai tersedak.
Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot.

***

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.
Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.
Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.

Mencintai Nancy justru karena apa adanya tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan mati melotot melihat negeri.

***

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah mati lalu berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.

Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan.

***

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.
Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di belakangnya.
Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.

***

Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran, mampirlah di kampung itu kamu selalu bisa menghirup bau rambut terbakar.
READ MORE - Hantu Nancy

Langit Senja Di Sore Hari

| Kamis, 02 September 2010 | 0 komentar |

Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa sepertinya tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna jingga.

Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.

Orang-orang dengan rongga di kerongkongan segera menutupi lehernya dengan berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan itu berada.

Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia, begitulah jargon yang berlaku. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang, kalau perlu harus dimusnahkan.

Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma yang terus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera dating, begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang sangat begitu indah bola matanya.

“Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita,” demikian kira-kira senandung itu. Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.

Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan. Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa .

Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya.

“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.”

Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu. Kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka.

Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya, di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh menemukannya.

Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka.

Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tahu dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan.

Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu, gesekan daun-daunnya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang pekat.



Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”, mereka seperti menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga.

Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan penuh tawa dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini.

“Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu memekat di hati, anak cucunya harus membasminya.”

Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitik pun.

Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka berharap dengan taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes.

“Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan,” lantang teriaknya, menirukan para aktivis linkungan di televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa.

Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat sakaratul maut tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas.

Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat.

“Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang sudah bertahun membatu.

Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara surga sekalipun.

“Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki. Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga itu….”

Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat.

Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengarnya, tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.

Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita.



Kesedihan yang sangat bersahabat….

Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Setiap pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang merindang.

Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.



Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat…



READ MORE - Langit Senja Di Sore Hari

Gara² Update Status...

| Rabu, 01 September 2010 | 2 komentar |
waktu terus berjalan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam ahh kepanjangan dari pada puyeng waktu gw d'tanya ma tmn gw.

"wuihhh..!! pke BB ne sekarang...??"
"gw sech nyengir ja, dalam hati hahahah kutipu kalian smua xixixiii..."

setelah beberapa hari kemudian gw ganti lgi pke WC Umum, sotomatis anak yang blom teu pasti pada binun. tpi untung'y d'sni gw mo ngasih teu ke loe² pada biar kgk da yg gaptek lgi hahahaha.... PEACE.. ehh.. padahal ne blog khusus cerpen ahhh biarin yg penting ne jg cerita gw xixixixiii.... ne gw kasih beberapa link yg gw teu heehhe

Tapi Sebelumnya Login Facebook dulu Yaa...

Jika login dari HandPhone untuk pertama kali , loe² pada harus klik Facebook Term of Use atau Ketentuan Layanan Penggunaan Facebook lalu isi email dan pasword fb loe , jika sudah ditutup browser di hp kalian lalu buka lagi , setelah ini kalian siap update status via apapun yg uda gw upload d'bawah ne... hehehe


READ MORE - Gara² Update Status...

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu