Kisah ini adalah sebuah kenangan yang menuntunku untuk melihat pohon randu. Letaknya menjorok sekitar tujuh meter disebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rerimbunan ilalang setinggi pinggang.
Ohooii.., Pohon randu inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang, sambut dan peluklah dia dengan penuh kenagan.
Kutelisik sisi batang pohon randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa seizin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami disana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku hanya bisa tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu ini terus tumbuh seiring dengan bergulirnya waktu..?? Akupun duduk didekat pohon randu beralaskan tanah yang lembab. Menyandarkan tubuh kekar ini dibatang pohon randu. Kuhela napas panjang dan haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru arah mata angin.
Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menyinari bumi lagi. Diufuk timur perlahan-lahan mulai benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimkannya dari negeri yang jauh. Dari kabar angin dia sekarang menjadi seorang relasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia sebelah mana saat ini dia berada. Masih ingatkah dia dengan pohon randu ini..?? Masih ingatkah dia dengan Pak Azhari, guru kami dulu..?? Andai dia tahu beliau telah mangkat (meninggal), sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya..??
Kemarin siang.., di tengah-tengah suara mesin-mesin pabrik, ponselku berdering. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah mengikuti alunan musik ringtone. Aku kaget mendengar suara Andri. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Azhari wafat..!!?" jeritnya dari suara ponselku. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Andri minta tolong agar kabar duka ini kusampikan secara berantai ke teman-teman yang lain.
Kugenggam erat ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.
***
Akupun tertegun menatap rumah Andri. Dindingnya dari papan, dan di samping kiri rumahnya ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya, ada beberapa kuntum kembang sepatu dan melati yang baru bermekaran terasa sedap saat mata ini memandang. Didepan rumah ada bale-bale bambu yang ruas-ruasnya sudah mulai merenggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh-gopoh dan derit pintu yang dikuak.
" Ardi..?!! " Dia terperangah. Aku tersenyum, sudah lama kami tak jumpa. Detik itu juga, waktu seolah-olah berhenti ketika kami saling berpelukan.
" Baru datang ya..?!! Wahh.., pangling aku Ar..!! Gemuk kamu sekarang, sudah jadi orang kamu rupanya. Ach.., sampai lupa aku. Ayo Masuk..!! " Runtunan kalimatnya, sembari menepuk-nepuk pundakku yang dirangkulnya. Aku duduk di kursi rotan ruang tamunya. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Andri memanggil istrinya. Dikenalkannya kepadaku seraya minta dibuatkan dua gelas teh hangat.
Wajah Andri yang sesangar pagi seperti cepat menghapus rasa letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih yang sudah lusuh dan celana hitam pajang. Tubuhnya kekar, kulitnya legam, urat-urat lengannya menyembul keluar. Dan saat tersenyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan, ia dedahkan hidupnya kini.
Dari semua nama yang terpahat di batang pohon randu, cuma Andri yang selalu setia pada kampung ini. Yang lainya telah pergi menyambung nasib ke kota, ke pulau seberang sana, bahkan ke negeri orang. Andri hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tuanya. Katanya, meskipun sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya bisa digunakan untuk menyulap sebidang tanah kosong dibelakang rumah menjadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.
Akupun ngilu waktu Andri menyuruhku untuk menginap di rumahnya. Tawaran itu seperti menohok batinku ini. Aku memang tak punya apa-apa lagi di kampung ini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke hadapan sang illahi, aku dan ke tiga saudaraku sepakat untuk menjual tanah, rumah dan sawah. Kami ingin merantau, mencari nasib yang lebih baik. Setelah penjualan di bagi rata, kami pun berangkat berpencar ke penjuru mata angin.
Bagaimana menguraikan keadaanku pada Andri..?? Aku hanya seorang buruh pabrik tekstil yang ada di pulau seberang yang gaji tiap bulan selalu ludes untuk menghidupi istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik, yang berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkunganya kumuh, dikepung dengan bau bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa untuk antri mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di setiap pojok bedeng.
Andri terpana mendengar cerita-ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela," Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup. "
Menepis risau, kuraih gagang gelas dan ku seruput teh hangat yang dihidangkan istri Andri. Ach.., Teh yang sangat nikmat rasanya saat malam dingin seperti ini. Sambil menaruh gelas di lepek, Andri berkata," Kenapa tak pulang saja, Ardi..??! Beli sawah, bertani dan meneruskan tradisi keluarga kita seperti dahulu. "
Aku tercekat. Sekian lama dirantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbesit di benakku untuk pulang ke kampung halaman ini.
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama kami. Aida.., gadis lugu yang dulu pernah aku suka padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Kata Andri, jangan harap dia akan menoleh jika dipanggil namanya. Dian, yang paling pintar dikelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget saat mendengarnya nasib Hadi, dia sekarang jadi waria. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abidin. Andri bilang, dia ketimpa rembulan. Hidupnya kini makmur, mertua Abidin orang yang berada di kecamatan. Abidin pun ditugasinya untuk mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abidin. Dia pinjamkan uang kepada orang-orang dengan bunga yang sangat tinggi. Masih ku ingat gurauan tentang Abidin dulu. Jika ketemu Abidin dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh abidin duluan sebab culasnya melebihi ular sawah. Dan si Arianto, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.
Ach.., waktu telah mengubah segalanya. Kisah kawan-kawan lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah didepan mata. Usai berdo'a di sisi almarhum Pak Azhari, kami langsung keluar dari ruang tamu. Dan duduk diseberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Matahari mulai tinggi, makin banyak pula pelayat berdatangan. Aku termangu menatap rumah duka itu, ada tenda besar yang memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi, dari bisik-bisik yang kudengar. Aida semua yang membayar sewa tenda dan kursi itu. Dia tak bisa datang untuk melayat.
Dulu warga kampung ini hidup penuh dengan keharmonisan dan bersahaja. Meskipun tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat tahun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda disaat itu.
Sejauh-jauhnya merantau, warga kampung sini pasti akan mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi.., entah kenapa sampai jenazah Pak Azhari berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang ku jumpai. Apakah sosok lelaki kurus, jangkung dan ramah itu telah lenyap dari ingatan mereka..?? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam..??
*** (Hari kedua di kampung..!!)
Andri mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Dijalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah ladang mereka. Ada yang jalan kaki sambil menenteng cangkul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Akupun terharu melihatnya, mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.
Justru generasi muda kampung iniyang membuatku jenuh. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati mereka. Ngebut di jalan tanah berbatu bak pembalap GP, yang meninggalkan debu panjang di depan mataku.
Sawah Andri beberapa puluh meter di depan sana, didekat rerimbunan pohon pisang. Ketika aku menatap hamparan permadani hijau itu, Andri mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku miniti pematang sawah..?? Alangkah jauh masa yang telah aku tinggalkan.
Andri melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya, melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
" Lirr ilir.., Lirr ilir.. Tandure wis sumilirr.. Tak ijo royo-royo.. Tak sengguh temanten anyar.. "
Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbesit untuk mengikuti Andri berdendang sepanjang pematang sawah. Namun, entah kenapa bibirku terasa kaku.
Dari gubuk beratapkan rumbia, kusaksikan Andri berkubang di tengah sawah. Batang-batang pagi meliuk, menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kutilang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayu, entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesaat dalam masa lalu.
Kami pun pulang menjelang petang, memutari jalan kampung. Meskipun lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa kami berenang. Sesampainya disana, dengan hati-hati kami menuruni tebing yang penuh dengan lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Andri terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa langkah menyusuri jalan yang sunyi, tiba-tiba Andri mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Andri pernah membidik burung dengan ketapel, bidikannya memang paling jitu diantara kami. Burung itu jatuh dari pohon, menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu, ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.
Andri menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan memerah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motornya diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Andri kaku, sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki-maki kelakuan dua anak tadi.
***
Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan dilangit lama. Suara jangkrik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada si surga.
" Kampung kita sudah berubah, Ar..!! " kata Andri sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbunan ilalang.
" Yaa.., aku seperti orang asing di sini ", suaraku gamang.
" Semua teman kita pergi merantau. jadi TKI, Babu, atau Buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu persatu. Apalagi sejak teknologi modern mulai masuk ke kampung, Kampung kita serasa makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa... "
Kalimat Andri terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak, aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.
***
Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut dirumah almarhum Pak Azhari telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan pahit dalam hati saja.
Dengan motor tuanya, Andri mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Disana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai terminal kota. Dari terminal itulah aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.
Persis ketika kami lewat pohon randu itu, lagi-lagi Andri mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin ku katakan. Namun sekedar menghibur diri, ku katakan pada Andri bahwa aku punya mimpi sederhana. Suatu saat nanti, jika ada uang aku akan pulang. Membeli sawah, bertani beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.
Andri berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang barusan ku ucapkan, aku hanya bisa tersenyum giris... *****
Cikarang, 21 Mei 2011
HaNz UkhitaShiwa
http://dodotkecil.blogspot.com/
Ohooii.., Pohon randu inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang, sambut dan peluklah dia dengan penuh kenagan.
Kutelisik sisi batang pohon randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa seizin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami disana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku hanya bisa tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu ini terus tumbuh seiring dengan bergulirnya waktu..?? Akupun duduk didekat pohon randu beralaskan tanah yang lembab. Menyandarkan tubuh kekar ini dibatang pohon randu. Kuhela napas panjang dan haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru arah mata angin.
Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menyinari bumi lagi. Diufuk timur perlahan-lahan mulai benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimkannya dari negeri yang jauh. Dari kabar angin dia sekarang menjadi seorang relasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia sebelah mana saat ini dia berada. Masih ingatkah dia dengan pohon randu ini..?? Masih ingatkah dia dengan Pak Azhari, guru kami dulu..?? Andai dia tahu beliau telah mangkat (meninggal), sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya..??
Kemarin siang.., di tengah-tengah suara mesin-mesin pabrik, ponselku berdering. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah mengikuti alunan musik ringtone. Aku kaget mendengar suara Andri. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Azhari wafat..!!?" jeritnya dari suara ponselku. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Andri minta tolong agar kabar duka ini kusampikan secara berantai ke teman-teman yang lain.
Kugenggam erat ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.
***
Akupun tertegun menatap rumah Andri. Dindingnya dari papan, dan di samping kiri rumahnya ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya, ada beberapa kuntum kembang sepatu dan melati yang baru bermekaran terasa sedap saat mata ini memandang. Didepan rumah ada bale-bale bambu yang ruas-ruasnya sudah mulai merenggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh-gopoh dan derit pintu yang dikuak.
" Ardi..?!! " Dia terperangah. Aku tersenyum, sudah lama kami tak jumpa. Detik itu juga, waktu seolah-olah berhenti ketika kami saling berpelukan.
" Baru datang ya..?!! Wahh.., pangling aku Ar..!! Gemuk kamu sekarang, sudah jadi orang kamu rupanya. Ach.., sampai lupa aku. Ayo Masuk..!! " Runtunan kalimatnya, sembari menepuk-nepuk pundakku yang dirangkulnya. Aku duduk di kursi rotan ruang tamunya. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Andri memanggil istrinya. Dikenalkannya kepadaku seraya minta dibuatkan dua gelas teh hangat.
Wajah Andri yang sesangar pagi seperti cepat menghapus rasa letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih yang sudah lusuh dan celana hitam pajang. Tubuhnya kekar, kulitnya legam, urat-urat lengannya menyembul keluar. Dan saat tersenyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan, ia dedahkan hidupnya kini.
Dari semua nama yang terpahat di batang pohon randu, cuma Andri yang selalu setia pada kampung ini. Yang lainya telah pergi menyambung nasib ke kota, ke pulau seberang sana, bahkan ke negeri orang. Andri hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tuanya. Katanya, meskipun sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya bisa digunakan untuk menyulap sebidang tanah kosong dibelakang rumah menjadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.
Akupun ngilu waktu Andri menyuruhku untuk menginap di rumahnya. Tawaran itu seperti menohok batinku ini. Aku memang tak punya apa-apa lagi di kampung ini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke hadapan sang illahi, aku dan ke tiga saudaraku sepakat untuk menjual tanah, rumah dan sawah. Kami ingin merantau, mencari nasib yang lebih baik. Setelah penjualan di bagi rata, kami pun berangkat berpencar ke penjuru mata angin.
Bagaimana menguraikan keadaanku pada Andri..?? Aku hanya seorang buruh pabrik tekstil yang ada di pulau seberang yang gaji tiap bulan selalu ludes untuk menghidupi istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik, yang berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkunganya kumuh, dikepung dengan bau bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa untuk antri mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di setiap pojok bedeng.
Andri terpana mendengar cerita-ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela," Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup. "
Menepis risau, kuraih gagang gelas dan ku seruput teh hangat yang dihidangkan istri Andri. Ach.., Teh yang sangat nikmat rasanya saat malam dingin seperti ini. Sambil menaruh gelas di lepek, Andri berkata," Kenapa tak pulang saja, Ardi..??! Beli sawah, bertani dan meneruskan tradisi keluarga kita seperti dahulu. "
Aku tercekat. Sekian lama dirantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbesit di benakku untuk pulang ke kampung halaman ini.
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama kami. Aida.., gadis lugu yang dulu pernah aku suka padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Kata Andri, jangan harap dia akan menoleh jika dipanggil namanya. Dian, yang paling pintar dikelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget saat mendengarnya nasib Hadi, dia sekarang jadi waria. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abidin. Andri bilang, dia ketimpa rembulan. Hidupnya kini makmur, mertua Abidin orang yang berada di kecamatan. Abidin pun ditugasinya untuk mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abidin. Dia pinjamkan uang kepada orang-orang dengan bunga yang sangat tinggi. Masih ku ingat gurauan tentang Abidin dulu. Jika ketemu Abidin dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh abidin duluan sebab culasnya melebihi ular sawah. Dan si Arianto, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.
Ach.., waktu telah mengubah segalanya. Kisah kawan-kawan lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah didepan mata. Usai berdo'a di sisi almarhum Pak Azhari, kami langsung keluar dari ruang tamu. Dan duduk diseberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Matahari mulai tinggi, makin banyak pula pelayat berdatangan. Aku termangu menatap rumah duka itu, ada tenda besar yang memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi, dari bisik-bisik yang kudengar. Aida semua yang membayar sewa tenda dan kursi itu. Dia tak bisa datang untuk melayat.
Dulu warga kampung ini hidup penuh dengan keharmonisan dan bersahaja. Meskipun tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat tahun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda disaat itu.
Sejauh-jauhnya merantau, warga kampung sini pasti akan mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi.., entah kenapa sampai jenazah Pak Azhari berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang ku jumpai. Apakah sosok lelaki kurus, jangkung dan ramah itu telah lenyap dari ingatan mereka..?? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam..??
*** (Hari kedua di kampung..!!)
Andri mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Dijalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah ladang mereka. Ada yang jalan kaki sambil menenteng cangkul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Akupun terharu melihatnya, mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.
Justru generasi muda kampung iniyang membuatku jenuh. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati mereka. Ngebut di jalan tanah berbatu bak pembalap GP, yang meninggalkan debu panjang di depan mataku.
Sawah Andri beberapa puluh meter di depan sana, didekat rerimbunan pohon pisang. Ketika aku menatap hamparan permadani hijau itu, Andri mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku miniti pematang sawah..?? Alangkah jauh masa yang telah aku tinggalkan.
Andri melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya, melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
" Lirr ilir.., Lirr ilir.. Tandure wis sumilirr.. Tak ijo royo-royo.. Tak sengguh temanten anyar.. "
Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbesit untuk mengikuti Andri berdendang sepanjang pematang sawah. Namun, entah kenapa bibirku terasa kaku.
Dari gubuk beratapkan rumbia, kusaksikan Andri berkubang di tengah sawah. Batang-batang pagi meliuk, menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kutilang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayu, entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesaat dalam masa lalu.
Kami pun pulang menjelang petang, memutari jalan kampung. Meskipun lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa kami berenang. Sesampainya disana, dengan hati-hati kami menuruni tebing yang penuh dengan lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Andri terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa langkah menyusuri jalan yang sunyi, tiba-tiba Andri mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Andri pernah membidik burung dengan ketapel, bidikannya memang paling jitu diantara kami. Burung itu jatuh dari pohon, menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu, ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.
Andri menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan memerah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motornya diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Andri kaku, sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki-maki kelakuan dua anak tadi.
***
Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan dilangit lama. Suara jangkrik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada si surga.
" Kampung kita sudah berubah, Ar..!! " kata Andri sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbunan ilalang.
" Yaa.., aku seperti orang asing di sini ", suaraku gamang.
" Semua teman kita pergi merantau. jadi TKI, Babu, atau Buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu persatu. Apalagi sejak teknologi modern mulai masuk ke kampung, Kampung kita serasa makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa... "
Kalimat Andri terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak, aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.
***
Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut dirumah almarhum Pak Azhari telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan pahit dalam hati saja.
Dengan motor tuanya, Andri mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Disana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai terminal kota. Dari terminal itulah aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.
Persis ketika kami lewat pohon randu itu, lagi-lagi Andri mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin ku katakan. Namun sekedar menghibur diri, ku katakan pada Andri bahwa aku punya mimpi sederhana. Suatu saat nanti, jika ada uang aku akan pulang. Membeli sawah, bertani beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.
Andri berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang barusan ku ucapkan, aku hanya bisa tersenyum giris... *****
Cikarang, 21 Mei 2011
HaNz UkhitaShiwa
http://dodotkecil.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!