WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

Kekasih Yang Telah Pergi...

| Jumat, 10 Desember 2010 | 0 komentar |
Setalah genap sebulan aku jadian dengan Bayu, aku semakin yakin kalau aku nggak salah pilih dan benar-benar sudah menemukan belahan jiwaku, cinta sejatiku, cahaya hidupku, Bayu adalah segalanya bagiku. Aku mencintai dia dan akan selalu menyayangi dia untuk selamanya. Saat ini aku merasa puas karena penantian, dan usahaku selama ini berbuah kebahagiaan.

Telah sekian lama aku merasa menanti Bayu menjadi milikku seutuhnya. Akhirnya, cerita cintaku saat ini sudah happy ending, tingal sekarang Aku dan Bayu yang menjalaninya. Dulu kami sering sekali bertengkar, hanya karena hal-hal kecil, kadang kami sampai ribut nggak menentu. Dulu sebagai teman, kami memang bukan teman yang cocok, kami saling menjatuhkan dan saling membenci. Tapi sekarang, benar kata orang-orang, kalau kamu membenci seseorang janganlah kamu sampai terlalu, dan hasilnya sekarang perasaan itu menjadi kebalikan bagi Aku dan Bayu, justru kami sekarang saling mencintai dan menyayangi. Tapi yang jelas, aku juga nggak mau kehilangan Bayu, Aku takut juga kalau Aku terlalu mencintai dan menyayangi dia, bisa jadi Aku dan dia akan terpisahkan.

“Hei Ela, kamu lagi ngapain? aku kangen deh sama kamu..”
“Halo Bayu, kan baru kemarin kita ketemu, kamu gimana sih?”
“Ela, kamu baik-baik ya di sana, jaga diri kamu dan jangan pernah lupakan aku ya sayang.”

“Kamu ngomong apa sih Bayu? Kamu ngigau ya?”
“Nggak, maksud aku yah kamu jangan macam-macam di sana, kan di kampus kamu banyak banget tuh cowok-cowok keren, ntar ada yang godain kamu lagi, trus kamu lupain aku.”
“Hahaha... ya nggak dong sayang, aku nggak akan tergoda sama cowok-cowok di kampus ini, nggak ada yang kayak kamu di sini, dan yang aku mau tuh cuma kamu seorang.”

“Hei, kamu udah pintar ngegombal yah, siapa yang ajarin, ayo ngaku?”
“Bayu, kamu apaan sih?! Udah deh, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman dengan teman-temanku. Asal kamu tau aku berterima kasih banget selama ini sama Tuhan karena aku udah bisa memiliki kamu.”
“Iya Ela, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan selama ini.”

Satu hal inilah yang selalu ditakutkan Bayu, dia selalu bilang aku akan tergoda oleh cowok-cowok di kampus, sementara aku nggak begitu? Justru akulah yang paling takut Bayu yang akan berpaling dariku, dia akan pergi meninggalkanku selamanya, dan cintanya hilang untukku. Bayu sekarang kerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di kota ini, sebagai cowok kalau kita melihatnya dengan kesan pertama, dia adalah cowok yang diimpi-impikan semua cewek, karena Bayu punya segalanya, dengan modal wajah yang tampan, prilaku yang baik, kerja yang mapan, akupun takut dia akan pergi dariku, kalau seandainya ada cewek yang lebih menarik dariku, lebih sederajat dengan dia.

Bayu menggenggam tanganku erat sekali, aku merasakan kenyamanan saat dia memegang tanganku. Aku merasakan cintanya begitu kuat untukku. Saat kami masuk ke sebuah toko buku, Bayu bilang dia akan membelikan aku sebuah buku sastra yang dulu sudah pernah dibacanya dan sekrang dia ingin aku juga membaca buku itu. Setelah Bayu membayar buku tersebut, Bayu langsung menyerahkannya padaku. Aku kaget membaca sinopsisnya, ternyata buku itu berisi tentang kekuatan cinta yang tulus, yang akhirnya terpisahkan oleh maut, dan bagaimana sakitnya hati seorang kekasih saat menghadapi peristiwa kematian itu.

“Bayu, kenapa kamu kasih aku buku kayak gini?”
“Ela, aku pengen banget kamu baca buku ini, karena kalau kamu baca buku ini, kamu bakal lebih mengerti lagi apa itu cinta sejati, kamu akan merasakan betapa sangat berartinya orang yang mencintai kamu, pokoknya ceritanya bagus deh, kamu pasti nggak bakalan nyesal kalau baca buku ini, dan setelah membacanya, aku juga yakin kamu akan semakin sayang sama aku, hehehe ...”
“Ih, kamu!! Ke-GR-an banget sih kamu, masa cuma gara-gara baca buku ini aku bisa semakin sayang sama kamu.”

“Eh, benaran, percaya deh sama aku. Kalau nggak, ntar kamu boleh musuhin aku lagi deh kayak dulu.”
“Bayu!! Kamu ngomong apaan sih, ya udah-udah, aku baca bukunya, kamu kira aku bakalan senang yah kalau kita musuhan lagi.”

Bayu aneh sekali hari ini. Tadi siang dia ngomong yang nggak-nggak di telpon, dan malam ini dia juga menyuruhku membaca buku yang isinya aneh, tentang kematian. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang, kata kematian terasa terngiang-ngiang di telingaku. Entah kenapa aku semakin ketakutan, takut akan kematian, takut akan kehilangan. Peganganku semakin aku kuatkan ke pinggang Bayu, aku peluk pungungnya dan aku sandarkan wajahku ke sana. Aku merasakan lagi kalau aku bersama Bayu, saat ini mungkin Bayu sedang tersenyum karena dia merasakan cintaku besar untuknya.

Sambil mengenderai motornya, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihatku, Bayu seperti orang yang was-was. Aneh, di sepanjang jalan aku terus kepikiran. Dan akhirnya bunyi keras dan goncangan hebat membuat aku kaget, nggak hanya goncangan, tapi sakit yang luar biasa di kepalaku, aku merasakan pusing serasa dunia ini berputar sangat kencang sekali, penglihatanku kabur, aku berusaha untuk menyadarkan diriku sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku melihat Bayu yang sedang tidur di jalanan, samar-samar aku melihat dia seolah-olah tidur nyenyak, aku merasa mimpi, mana mungkin Bayu tidur di jalan, perasaan baru tadi aku boncengan dengan dia. Aku berjalan mendekati dia, tapi orang-orang yang ramai lebih dulu menghampiri dia, aku semakin kesakitan, aku nggak kuat lagi dan akhirnya yang aku lihat hanya kegelapan.

“Ela, kamu nggak apa-apa sayang, ini Mama.”
Aku pandangi wajah Mama. Dia seperti orang yang ketakutan, aku melihat sekelilingku, tiba-tiba aku baru sadar, selintas kejadian tadi malam teringat lagi olehku.
“Ma, Bayu mana? Dia baik-baik aja kan?”
“Ela, nanti aja, kamu istirahat dulu, kamu masih sakit sayang.”
“Nggak Ma, Ela nggak merasa sakit apa-apa, sekarang Ela mau lihat Bayu, dimana dia Ma?”
“Ela, luka kamu belum kering betul, tadi kamu terus-terusan ngigau kalau kamu ngerasain sakit.”
“Ma, Ela nggak ngerasa sakit, benaran, nggak tau kenapa Ela ngerasa sehat dan kuat Ma, sekarang pokoknya Ela mau ketemu Bayu, pasti saat ini dia butuhin Ela banget.”
“Ela, saat ini Bayu nggak butuh siapa-siapa lagi, dia udah aman Ela, dia udah tenang di sana, sekarang udah bahagia dengan kehidupannya sendiri, ada yang menjaga dia di sana.”
“Apa? Apa Ma, maksud Mama? Mama bohong!! Ela nggak percaya, nggak mungkin, nggak mungkin itu terjadi sama Bayu, dia udah janji Ma nggak akan pernah ninggalin Ela, dia sayang Ela, Ela sayang Bayu Ma .... nggak, nggak mungkin....

Teriakanku membuat semua suster datang ke tempatku, mereka berusaha menenangkanku, tapi aku nggak bisa, air mataku mengalir terus tiada hentinya, salah seorang suster baru saja akan memberiku suntikan penenang, tapi cepat-cepat aku elakkan.

“Tolong jangan suster, saat ini aku nggak butuh itu, aku hanya ingin menangis, aku nggak rela, aku marah sama Bayu, kenapa dia berani pergi ninggalin aku, padahal dulu dia udah janji nggak akan pernah pergi dariku, tapi kenapa Bayu bohong, kenapa sekarang justru dia pergi selamanya, dan aku tau dia nggak akan pernah kembali lagi kan untukku? Kenapa kamu tinggalin aku Bayu?”

“Ela, ini udah takdirnya, waktu Bayu udah habis di dunia, kamu jangan pernah marah sama Bayu sayang. Kamu harus yakin kalau sekarang Bayu udah bahagia di sana.”
“Ma, kenapa justru Bayu, kenapa buka Ela aja yang ada di sana? Ela mau kok Ma, Menggantikan Bayu, karena Ela sayang sama Bayu Ma, atau biarkan Ela untuk bersama dia sekarang, Ela pengen menyusul dia Ma, Ela nggak mau hidup di dunia ini tanpa dia, percuma Ma, percuma kalau nggak ada Bayu di sini, hidup Ela nggak ada artinya lagi.”

Dengan cepat suster-suster itu memegang seluruh tubuhku, dan sesaat kemudian aku tertidur, di alam mimpi Bayu datang padaku. Dengan pakaian yang serba putih Bayu tersenyum padaku, dia berjalan mendekatiku, dia kelihatan senang sekali, seolah-olah dia mendapatkan kebahagiaan yang baru, yang tiada duanya di dunia, melihat Bayu terus-terusan tersenyum, rasanya aku ingin sekali ikut bersama dia, ikut merasakan kebahagiaan yang dia rasakan saat ini. Aku berusaha memeluknya dan menggenggam tangannya, dia membalas pelukanku, dia mendekapku, kembali aku merasakan kenyamanan bersamanya, aku merasakan dia memberiku kekuatan, ketegaran, dia membelai rambutku dengan penuh rasa sayang, tapi pelan-pelan dia melepaskanku, dia justru menjauh dariku, semakin jauh, jauh dan hilang dari penglihatanku.

Saat aku sadar, aku menangis lagi, aku bukan menangis karena menahan sakit pada kepalaku, tapi aku menangis karena hatiku yang terasa amat sakit. Sekarang dunia bagiku terasa kelam, hujan nggak hanya membasahi bumi, tapi hujan membasahi kehidupanku, hatiku seolah-olah nggak berhenti menangis, menangisi orang yang telah pergi untuk selama-lamanya, dia nggak akan pernah kembali lagi.

Tiba-tiba mataku tertuju pada buku yang ada di atas meja, aku baru ingat kalau itu adalah buku yang dibelikan Bayu kemarin. Aku buka satu demi satu halaman buku itu, beberapa menit kemudian aku tenggelam dalam ceritanya. Aku menangis membaca buku itu, sekilas aku seolah-olah melihat wajah Bayu tersenyum di langit yang mendung di luar sana.

Entah kenapa sekarang Aku kembali merasakan kekuatan itu, kekuatan cinta yang diberikan oleh Bayu, Aku merasakan dia ada di dekatku, merangkulku, menenangkanku, Aku dapat merasakan cinta dan sayangnya. Bayu, Aku sangat mencintai dan menyayangi kamu, Aku yakin kamu bahagia di sana, walaupun kamu sudah pergi dari kehidupanku, tapi kamu nggak akan pernah pergi dari hatiku, kamu abadi untukku, Bayu. Aku akan buktikan, kematianmu nggak akan pernah mengakhiri cintaku.***



“Cerita ne gw dapet dari seorang temen yang baru gw kenal sewaktu tu anak HP’y ketinggalan d’bangku bioskop, n gw ambil yaa… bukan maksut hati buat mengambil buat gw tpi mo gw kembali’in k’yang punya tapi ngaa teu spa yg punya. N akhir’y tu HP bunyi, yaa.. gw angkat n tu anak bilang ‘tolong temui gw d’deket loket bioskop..!!’ sambil tolah-toleh gw cari tu anak, n akhir’y ketemu. Ya mngkin tu anak pengen b’trimakasih, tpi bingung mo ngapain. N akhrir’y gw kenalin ja diri hehe.. n akhir’y iseng sharing ngelantur ngaa jelas kmna².. beberapa hari kemudian kita ketemu lgi n sharing ngaa jelas lgi sma temen²nya.. n dya becerita ttg dia n cwo’y. ya gto dehh pokok’y…”



Jakarta, 10 Desember 2010
HaNz UkhitaShiwa
http://dodotkecil.blogspot.com/
READ MORE - Kekasih Yang Telah Pergi...

Standart Inter"NASI"onal...

| Sabtu, 04 Desember 2010 | 2 komentar |
Kisahnya dimulai saat Diah dan Ayu sedang mengobrol bersama di dalam kelas saat istirahat. Tiba - tiba bel berbunyi dan Bu Helly yang akan mengajar pun masuk. Sesumpek apapun pelajaran Bu Helly, Diah dan Ayu akan mendengar tanpa mencatat. Di akhir jam pelajaran.

"Anak - anak, sebentar lagi sekolah kalian akan diubah menjadi Sekolah bertaraf internasional. Maka dari itu, ibu minta kalian dapat berbahasa inggris fasih dan lancar untuk dipakai di kehidupan sehari - hari. Mengerti?" kata Bu Helly.

Akhirnya bel tanda pelajaran Bu Helly selesai dan saatnya pelajaran Bu Shinta. Lima menit, Sepuluh menit. Bu Shinta belum juga datang. Ketua kelaspun mencari Bu Shinta dan dapat jawaban dari guru lain bahwa suami Bu Shinta sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketua kelas segera menuju ke kelas. Sesampainya dikelas.

"Teman - teman, Bu Shinta gak masuk." Kata Ketua kelas muram. Sesaat semua diam. Satu kelas saling memandang satu sama lain.

Tiba - tiba "Horeeeeeeee!!!!!!"

Semua bersorak sambil berjingkrak. Sambil mengisi waktu yang kosong, Diah dan Ayu bercanda bersama. Mereka adalah sahabat serta teman sebangku yang kompak.

"Yu, kita terapkan bahasa inggris yuk!" ajak Diah. Ayu mengangguk setuju.

Ayu yang agak lemot mikirnya ini tiba - tiba berkata "buat apa, di?."

"Ya ampun Ayu, tadi kan dibilangin sama Bu Helly, sekolah kita sebentar lagi jadi standar internasional ni..." jawab Diah sambil menghela nafas.

Diah pun memulai percakapan. "Good afternoon, Ayu. Have you finished your homework?" kata Diah. Ayu terkejut dan berpikir sampai mengerutkan keningnya. Bingung nya terlihat jelas dari bibirnya yang merengut ke arah kiri. Diah tertawa geli melihat sahabatnya yang "telmi" itu. Tiba - tiba Ayu berkata sambil menampilkan wajah sumringah

"Good afternoon, Diah. Homework Ayu finished.
Kalo homework Diah? how?".

Sejenak Diah meminta pengulangan kata - kata tersebut. Namun masih kurang jelas. Akhirnya Diah meminta Ayu menulisnya. Belum saja Ayu memberi tanda titik di tulisannya, Diah yang membacanya sudah tertawa ngakak hingga seisi kelas mendengarnya. Ayu yang heran dan bingung hanya bengong menampilkan wajah anehnya. Pulang sekolah, Diah dan Ayu mampir dulu ke warung nasi Mbak Tika yang nggak jauh dari sekolah mereka. Mereka makan siang bersama dengan nasi goreng buatan Mbak Tika.

"Mbak, tadi lucu deh. Waktu pelajarannya Bu Shinta, kan bu Shintanya gak ada. Kita main percakapan bahasa inggris....," Diah menceritakannya begitu jelas hingga Mbak Tika ikut ngakak bersama Diah. Mbak Tika seorang tamatan SMP disekolah yang sama dengan Diah dan Ayu. Ia tamat di SMP karena harus mengurus adik - adiknya karena sang ibu menjadi TKI di Taiwan, sedangkan ayahnya telah meninggal dunia. Mbak Tika hanya berbeda 3 tahun dari Diah dan Ayu. Mbak Tika selalu meminta pengalaman mereka seharian bersekolah kepada Diah dan Ayu saat mereka mampir untuk makan. Tiba - tiba mbak Tika bertanya

"Ayu, kalau bahasa inggrisnya nasi goreng itu, apa?".
"Ah, itu mah gampang Mbak, nenek Ayu juga tau." Jawab Ayu sok tau.

Diah balik bertanya, "Emang apaan, Yu?.

"Hmmm...Rice goreng!" Jawab Ayu.

Sentak Diah dan Mbak Tika kembali tertawa ngakak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ayu pun marah dan cemberut.

"Kok diketawain sih! emang salah apa?" kata Ayu membentak.

Diah yang masih sakit perut karena tertawa terlalu banyak menenangkan Ayu.

"Ayu, Rice emang bahasa inggrisnya nasi, kamu betul sih." kata Diah.
"Trus, berarti Ayu betul donk. Kok diketawain sih? Aneh ni kalian.
"Bela Ayu sambil membentuk garis miring di dahinya dengan jarinya.

Diah dan Mbak Tika tidak terima dibilang aneh plus 'sinting', jadi mereka mencubit pipi Ayu.

"Eh, kok malah cubit - cubit sih! Ayu tanya, yang salah itu apa?" tanya Ayu marah.

Tiba - tiba wajah Diah dan Mbak Tika merah "GORENG ITU BAHASA INGGRISNYA FRY, AYU! KALO NASI GORENG ITU FRIED RICE!!!!!!" Teriak Diah dan Mbak Tika marah. Ayu yang merasa salah segera menaruh uang lima ribuan di atas meja sambil mengambil ancang - ancang untuk kabur dari amukan Diah dan Mbak Tika. Kaburrrr!!!

"Heh, jangan kabur kamu Ayu!" Teriak Mbak Tika.
"Kemari kamu Ayu!!!" terik Diah menyambung teriakan Mbak Tika. Ayu lari terbirit - birit sambil direnteti teriakan dari Diah dan Mbak Tika. Ckckck...Ayu, Ayu...(geleng - geleng)



Jakarta, 04 Desember 2010
HaNz UkhitaShiwa
READ MORE - Standart Inter"NASI"onal...

Kematian Yang Terasa Sunyi...

| | 0 komentar |
Koran-koran menulis tentang kematian Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah kehilangan salah satu anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah pergi! Bangsa ini berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba menayangkan kisah sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran bendera setengah tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah mengharumkan nama bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang menghargai hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata dan tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan.

Andai saja politik sempit tidak ikut bermain, seharusnya dialah yang pantas tahun lalu mendapatkan Nobel Perdamaian!” begitu salah satu komentar koran lokal dengan sebuah berita yang nyaris emosional mengutip komentar seorang tokoh nasional.

Sebagai keponakan, tiba-tiba aku dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal, termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben.

Tetapi alangkah sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan dengan jujur. Apa yang mesti kukomentari? Semua kisah hidup Bibi telah diketahui umum. Semua sepak terjang Bibi selalu menjadi headline. Padahal, mereka kini ingin mencari yang lain, yang unik, yang bisa didapat dari kisah hidup Bibiku. Bila perlu yang eksotik dan bernilai berita, yang tersembunyi dalam hidup Bibiku. Ah, hidup Bibiku berjalan normal. Perkawinannya bagus. Anak-anaknya pun tak ada yang aneh-aneh. Semua normal dan lancar. Bibi seorang ibu, seorang istri. Manusia yang normal-normal saja. Apalagi yang mesti ditulis?

Yah, akhirnya mereka menjadikan upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan. Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan mengikuti ritus adat.
Bagi para pengejar berita, para pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global… upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst!

Aku merunduk menahan sakit kepala.

Haruskah aku bilang, bagi desa ini, desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita, setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi bukan warga istimewa.

Bibi dan suaminya telah lama meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal, Bibi kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual.

Sebaliknya sejak lama, bagi desa ini, Bibi tidak lagi bagian masyarakat. Bibi dan paman sudah lama tidak aktif di banjar. Begitu pun anak-anaknya. Tidak pernah lagi mengikuti berbagai kegiatan upacara dan sosial masyarakat desa. Kalaupun sesekali datang, mereka datang untuk berlibur. Mengurus rumah dan tanah warisan. Atau pulang seperti sekarang, di saat mati.

Ya, di jalan-jalan desa memang berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi, tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu.

Begitu pun dalam keluarga besar, hampir semua memang datang melayat, tetapi semua bersikap sebagai tamu, tak ada yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat. Dulu, bukankah begini caranya Bibimu memperlakukan kami jika kami menghadapi kematian?

Aku mengerti sikap mereka. Keluarga lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi semasa hidup terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan. Dan sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga.

Protes khas atas sikap Bibi dan anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya waktu untuk acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa yang tenang. Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh Bibiku.

Sudah diduga sejak lama akan datang balasan semacam ini dari warga desa terhadap Bibi dan anak-anaknya. Balasannya yang begitu halus, jauh dari komentar. Tanpa umpatan atau sesal mengenai sikap Bibi selama hidup. Mereka tahu, jalan diam adalah yang terbaik menghadapi orang yang sudah mati.

Yah, sejak lama aku pun mengalami kegamangan. Setiap kali bermain ke Jakarta atau bertemu dengan beberapa tokoh di negeri ini, lalu mereka bertanya dan menempatkan Bibi seolah-olah orang yang amat berpengaruh di daerah asalnya, aku selalu tersedak dan hanya bisa tersenyum miring.

Oh-ho! Bibi memang berjalan di atas ide dan gagasannya sendiri. Pantas dikagumi. Wajar semua kagum atas sepak terjangnya, apalagi kemajuan media massa, terutama koran-koran bila menuliskan sikap keberpihakan Bibi terhadap kemanusiaan. Membuat Bibi di mana-mana ditunggu kehadirannya. Dipanutkan dan didengarkan kata-katanya. Komentar Bibi berpengaruh, selalu dikutip. Bibi memang hebat. Konsisten dan tidak diragukan kejujurannya!

Tetapi, haruskah aku bilang kepada para pengagumnya bahwa apa pun yang dilakukan Bibi tidak terkait dengan masyarakat tempat asal-muasalnya. Semua aktivitasnya jauh dari desa ini. Ide dan gagasan Bibi adalah untuk manusia dunia. Bukan manusia di desa. Sekalipun desa kelahiran Bibi tak kalah banyak memiliki persoalan kemanusiaan; dari kemiskinan sampai kriminal. Dari politik sampai kerusuhan. Sama seperti desa- desa lain. Sama seperti persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat di zaman ini. Sama seperti yang menjadi bahan perjuangan Bibiku.

Namun, Bibiku tidak pernah melibatkan diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang diperjuangkan Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar seorang tokoh, “Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!”

Dan sungguh selalu membuatku tersenyum miring, setiap kali ingat betapa banyak aktivis yang terkenal itu terkagum-kagum pada Bibi dan mengira Bibi tentulah memiliki pengikut yang fanatik dan solid. Astaga, haruskah aku bilang, Bibi tidaklah seperti tokoh informal yang lazimnya dikenal di pedesaan. Yang dicintai buta oleh masyarakatnya. Bibi bukan siap-siapa di desa kelahirannya. Bahkan andai dicoba Bibi dilibatkan mengatasi suatu persoalan di desa kelahirannya, tidak usah dipartaruhkan, apa pun saran Bibi tidak akan didengar oleh masyarakat desa kelahirannya. Ironis memang, Bibi paling akan dikutip koran-koran. Seolah komentarnya akan mengubah sikap seisi desa, tetapi itu hanya berita di koran. Masyarakat desa punya tokoh sendiri. Tokoh yang hadir setiap saat dalam suka dan duka, dalam bahasa mereka sendiri. Dan panutannya sendiri.

“Ibumu memang terkenal, tapi apa gunanya keterkenalannya saat ini?! Kamu pikir semua orang akan datang membantu mengurus upacara kematian ibumu?! Hanya karena dia orang terkenal?!”

Aku tercekat.

Paman Bungsuku mulai meraung dan melotot kepada anak bibiku yang paling sulung. Sebagai salah satu pengurus Desa Adat, Paman Bungsuku tentu tahu apa yang telah digunjingkan masyarakat terhadap rencana ngaben Bibiku.

“Dari dulu telah aku sarankan, jika ibumu meninggal, kremasi saja di Jawa! Jangan bermimpi membuat upacara kematian yang besar. Biarpun kamu punya duit, bisa membeli apa saja, tetapi apa gunanya?! Semua orang di desa ini enggan melayat. Enggan menolong kalian. Karena apa? Karena kalian tidak pernah menganggap mereka ada dan hidup! Tanya pada dirimu, apa pernah kamu ikut terlibat meneteskan keringat jika mereka bikin upacara?! Sekarang kamu menuntut hak sebagai warga desa. Kewajibanmu sendiri apa pernah kamu penuhi?! Apa begini yang namanya keadilan yang diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap ibumu kepada mereka!”

“Jadi, jangan muluk-muluk! Ibumu hanya besar dalam berita. Tetapi dia sudah kehilangan akar. Kehilangan ikatan dengan manusia yang dia perjuangkan! Terutama dengan manusia desa ini!”

Aku menyingkir jauh.

Para sepupuku tentu sulit mengerti. Mereka sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini. Yang mereka tahu, ibu mereka seorang terkenal, humanis yang dihormati oleh banyak orang. Seorang ibu yang selalu penuh perhatian kepada banyak orang. Ibu yang penuh kasih dan perhatian terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan!

Logikanya, tentulah masyarakat desa bangga pada ibunya. Tentulah desa ini akan berkabung berhari-hari, bersedih atas kematian salah satu warganya yang ditempatkan sebagai tokoh kemanusiaan dunia! Sewajarnya, masyarakat akan bergerak, tanpa diminta bahumembahu menyukseskan upacara ngaben untuk kematian ibu mereka. Apalagi, bukankah dalam buku-buku kisah desa ini dituturkan mengenai kuatnya tradisi gotong royong, kasih sayang, dan harga-menghargai?

Teriakan-teriakan antara Paman Bungsuku dan para sepupu itu perlahan lenyap. Lenyap oleh rumah besar yang tetap sunyi sepi.

Pelayat-pelayat yang datang dari jauh, yang mengenal Bibi dari koran dan ruang-ruang diskusi, yang kagum karena ide dan gagasan Bibi, setiap kali datang tak dapat menahan ketersentakannya. Tak sanggup menyembunyikan keheranan di mata mereka: kenapa sepi nian rumah besar ini?! Bukankah dari yang mereka dengar dan baca, jika ada kematian, warga desa akan datang berduyun-duyun melakukan kerja bakti. Apalagi akan ada rencana upacara ngaben besar seorang tokoh yang begitu berpengaruh. Bukankah biasanya bila salah satu warga saja yang mati, semua warga bila perlu berhari-hari menginap di rumah duka sebagai tanda solidaritas dan penghormatan? Tetapi inilah kenyataannya. Yang melayat Bibi hanyalah mereka yang dari jauh, yang dekat seolah tidak tahu bahwa ada jasad di dalam rumah.

Oh, kembali perdebatan itu terdengar.

Kenapa tidak dikremasi di Jawa saja? Atau di Denpasar? Sekarang toh bisa ngaben cepat tanpa harus menggunakan upacara lengkap?! Kenapa anak- anak bibi merasa perlu memberi hadiah terakhir sebuah upacara pengabenan lengkap? Astaga! Mereka tentu tidak bisa dilarang membawa jasad bibi pulang. Tentu tidak bisa dilarang untuk merancang membuat rencana upacara besar. Mereka ingin menghormati ibu mereka. Juga mereka punya uang. Tetapi tahukah mereka, ngaben tidak cuma perlu uang tetapi perlu dukungan masyarakat? Dan tahukah mereka, Bibi tidak pernah sekalipun melakukan kerja bakti untuk kegiatan apa pun di desa ini? Menyumbang pun tidak. Bibi entah kenapa, kepada keluarga dan masyarakatnya sendiri begitu pelit dan kritis, bahkan cenderung sinis. Entah kenapa… .

Apa mereka kira ini semacam resepsi perkawinan? Yang bisa segalanya total dibeli? Atau dilangsungkan di hotel?

Aku merasakan kengerian berindap-indap di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana upacara ngaben bibiku.

Anak-anak bibiku tetap ngotot dengan rencana mereka. Yang menakjubkan lagi, upacara ngaben Bibi akan dihadiri pula banyak wartawan dan pejabat.

“Kamu pikir mengundang tamu itu mudah? Siapa yang akan mengurus? Apa kamu pikir dengan bade bertingkat tidak perlu manusia untuk mengusungnya ke kuburan? Kamu pikir akan mudah menyuruh orang-orang mengusung bade ibumu?!” Semua mulai histeris, membayangkan upacara yang kacau.

“Tenanglah! Saya sudah membuat kepanitiaan. Saya tahu, tidak mungkin mendapat bantuan masyarakat desa ini. Karena itu, untuk akomodasi, perjamuan para tamu kita sewa katering. Untuk mengusung bade ke kuburan, kita sewa buruh- buruh bangunan. Kemudian transportasi sudah ada, travel yang akan mengurus,” anak Bibi yang tertua, yang kini menjadi pengusaha kaya, menyampaikan rencananya.

“Hanya satu yang kami mohon, sudilah semua keluarga hadir. Agar di mata teman-teman Ibu, kita tetap tampak kompak. Ibu dan kami memang bersalah… janganlah ibu dihukum seperti ini.”

Aku merunduk. Isak tangis pun mulai pecah. Entah kenapa, walau semua pekerjaan dan perlengkapan yang diperlukan untuk ngaben telah dipesan, telah disewa, tetap saja ada kesunyian yang mencekam di rumah besar ini. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah tanah yang sunyi. Desaunya membuat hati dilanda perasaan sendiri. Begitu sendiri.

Segalanya telah dirancang rapi. Akhirnya, seluruh keluarga mau terlibat sebagai panitia. Bukan karena Bibi, tetapi lebih karena menjaga nama keluarga!

Dan hari-H pun tiba. Ratusan mobil berderet di jalan. Para pelayat yang datang dari jauh, dari berbagai kota dan berbagai negara, berdatangan sejak pagi. Suara gamelan, penyambut tamu dan perjamuan, berlangsung lancar. Rapi. Bahkan terlalu rapi. Semua tertata nyaris sempurna.

Kemudian prosesi upacara ngaben pun dimulai. Juga lancar dipandu oleh penata acara yang piawai. Para pengusung bade dengan seragam yang masih bau toko mulai bergerak mengusung jasad Bibi menuju kuburan, bersorak dengan semangat. Menjadi sasaran kamera dan kekaguman.

Jalanan desa begitu ramai. Semua penduduk desa keluar rumah, tetapi cuma duduk-duduk di depan rumah masing- masing, hanya sebagai penonton prosesi ngaben bibiku. Yah. Hanya menonton. Seolah prosesi ini bukan bagian dari desa ini. Semua hanya menonton! Dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Jauh berbeda dengan para pelayat, teman, dan pengagum Bibi saat larut dalam prosesi dilanda keharuan hebat karena merasakan betapa agung dan meriahnya upacara ngaben bibiku. Seakan kembali mendengar seruan Bibiku, marilah hidup dalam kebersamaan. Marilah hidup dalam keragaman! Karena sejatinya kita adalah manusia, yang sama!

Lalu setibanya di kuburan, sebelum jasad dibakar dengan kompor sewaan, seorang menteri berpidato dan beberapa tokoh politik yang katanya berpeluang jadi presiden memberikan sambutan kenangan. Kilat blitz serta sorot kamera tak henti-henti. Karangan bunga duka cita bertumpuk-tumpuk menutupi tempat pembakaran. Semuanya lancar, rapi dan tepat waktu seperti sikap Bibiku yang selalu disiplin dan tepat waktu.

Tepat menjelang tengah hari, jasad bibi pun mulai dibakar. Api meliuk ke langit. Langit cerah. Ditingkahi suara gamelan. Keheningan sesaat memaksa air mata menetes. Kematian selalu membuat rasa kehilangan. Dan saat itu para pelayat, para tokoh, wartawan, dan orang-orang yang mengagumi Bibi mulai berpamitan. Satu per satu menyalami anak-anak Bibi dengan keharuan.

Seorang anak bangsa telah pergi. Pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sayup-sayup aku mendengar suara penyiar yang menyampaikan pandangan mata secara langsung dari kuburan. Dan ketika api padam, aku terbebas dari lamunan, dari keharuan. Lalu menoleh kiri dan kanan. Menghitung jumlah orang yang masih ada di kuburan. Yah, tinggal keluarga dan orang-orang sewaan saja yang tengah sibuk menghitung- hitung jam kerja dan upah yang akan mereka terima.

Aku mencari ayahku dengan mata tergetar. Aku juga mencari wajah para sepupuku. Aku mencari wajah semua keluarga. Bau asap jasad menghentikan pikiranku. Menghentikan hatiku. Aku merasa tiba-tiba begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari teman-teman, jauh dari semuanya. Jauh sekali. Oh, seperti hidup di dunia yang lain. Begitu lain.

Dan bibi pun kini berada di dunia lain. Sendiri. Tetap tak perlu siapa-siapa selain dirinya. Sama seperti saat hidupnya.



Jakarta, 4 Desember 2010
HaNz UkhitaShiwa
READ MORE - Kematian Yang Terasa Sunyi...

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu