WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

Cintaku Hanya Untukmu

| Jumat, 02 Juli 2010 | 0 komentar |
"Mah, aku jalan-jalan sebentar yah". Aku keluar dan mulai berjoging ria, sebenarnya sih bukan untuk jalan-jalan ataupun lari pagi. Ada hal lain yang membuatku setiap minggu lari pagi atau sekedar jalan-jalan saja. Ada sesuatu yang membuat aku bahgaia, jantung berdebar-debar hingga tak karuan, membuat pipiku merona merah. Membayangkannya membuatku tertawa sendiri, dan tersenyum malu. Sesuatu itu adalah cowok yang bernama putra yang secara tidak sengaja dipertemukan ditaman yang tepatnya aku ingin segera kesana.

Kalau mengingatnya aku inggin sekali tertawa sambil nangis, waktu itu aku sedang duduk dengan santai di taman sambil melamunkan masalah yang terjadi antara aku dan pacarku. Waktu itu aku benar-benar nggak konsen dan seperti orang yang linglung dan kehilangan arah. Tiba-tiba ada seekor kucing yang mendatangiku dan duduk dipangkuanku, dengan senang aku mengelus bulunya tiba-tiba seseorang datang dan mengucapkan terima kasih padaku sambil membawa kucing itu pergi.

Aku bingung serta menghampiri orang yang membawa kucing itu dan bertanya :
"Permisi yah, aku tahu kalau kucing ini lucu, tapi jangan main ambil seenaknya dong. Dia yang ngedatangin aku duluan kenapa kamu yang ngambil? Siniin kucingnya"
"Maaf yah mba, ini kucing saya ambil soalnya dia belum makan"
“Terus apa hubungannya" aku mulai mengambil kucing itu tapi dia tetap saja tidak melepaskan kucing itu " Siniin aku yang nemuin dia duluan!'
"Aduh apaan sih! Lepasin dong ini tuh kucing"
Dengan kesal aku menginjak kakinya, dengan seketika itu juga kucing itu lepas dan berpindah ke tangan aku, sedangkan dia memegang kakinya yang telah aku injak.
"Cewek gila!"
Akupun pergi dari tempat itu dan duduk di tempat yang tadi sambil mengelus kembali kucing itu. Setengah jam kemudian cowok itu datang lagi.
"Ada apa lagi? Mau aku injak kakinya yang sebelah lagi biar seri"
"Jangan galak gitu dong, kayaknya kamu nggak ngerti yah. Kok aku baru liat cewek seoon kamu" duduk disampingku sambil mengelus bulu kucing itu namun aku jauhkan kucing itu darinya. Dia hanya tersenyum yang membuat jantungku berdegup kencang.
"Monya...." Begitu nama itu disebut kucing itu turun dari pangkuanku dan naik kedalam pangkuannya. Kemudian aku langsung berpikir dan mukaku merah merona dan tersenyum padanya.
"sudah sadar?"
Aku hanya menggangguk dan tersenyum malu, oh my good kenapa aku baru nyadar kalau ini kucing punya dia. "Jadi namanya monya?"
"Iya,,, aneh juga nggak biasanya monya cepat dekat dengan orang lain ".
"Masa? Mungkin dia lagi bosen aja kali ngeliat and kenal ama kamu terus ".
"Mungkin... "
"Maaf yah soal yang tadi, aku sebenarnya nggak bermaksud untuk like that "
"It's alright, aku juga nggak bermaksud untuk ngatain kamu cewek gila. Habis aku kesal aja, kamu nginjek kaki aku sakit tahu, kamu tuch cewek apa cowok? "
"Keliatannya? "
"Susah ditebak "
"Kurang ajar, maksudnya apa? " Aku sudah bergaya untuk menginjak kakinya yang sebelah lagi,
"Ampun,,, aku nggak bermaksud untuk say that "
Aku tersenyum dan menghadap ke kolam yang airnya masih jernih dan diapun berkata :
“Airnya bening sebening mata kamu, aku putra. Kamu? "
"Call me putri"

Sejak saat itu aku dan dia mulai dekat dan saling smsan, tlpn²nan dan dia selalu ada dalam mimpi dan anganku, walaupun aku sedang berada di sisi pacarku. Yang selalu aku ingin tahu apakah dia merasakan apa yang selama ini aku rasakan. Aku berlari dengan cepat dan duduk dipinggir kolam dan menunggunya, tak lama kemudian monya datang lalu putrapun datang.
“Sudah daritadi?"
"Nggak kok baru datang, ada apa nyuruh aku kesini? Ada yang ingin kamu bicarakan?"
“Iya, sesuatu yang mengganjal dipikiranku saat aku didekat kamu atau jauh sekalipun.. " putra mulai menarik nafas dan bersiap mengatakan " Sebenarnya aku sa..."
Namun seseorang yang kau kenal menghampiri aku dan putra,
"Hey put,,, lagi apa disini?"
"Rahman? Ngapain kamu disini? Tumben??? Nyari aku?"
"Bukan ... nyari putri"
"(Aduch ngapain nih cowok ada disini? Aku nggak mau ada dia,,, jangan-jangan mamah yang bilang kalau aku disini... Rahman pergi dong)"
"Teman kamu man"
"Bukan,,, dia pacar aku"

Aku melihat sesuatu yang aneh dalam wajah putra, aku melihat rasa yang sama yang selama ini aku pendam, yang selama ini aku sembunyikan jauh di lubuk hati aku yang paling dalam. Tapi sebelum dia mengungkapkannya dia harus menerima kenyataan bahwa aku milik temannya. Aku bingung aku harus berkata apa, aku takut kehilangan putra aku nggak mau ini semua akan memisahkan antara aku dan putra. Putra maafkan aku yang tak pernah bisa jujur, maafkan aku yang tak bisa mengatakan itu.

"Aku tadinya aku inggin ngenalin dia ke kamu tapi dihumz mu, and waktu aku kesini aku liat kalian lagi berdua dan ternyata kalian sudah saling kenal. Syukur deh nggak usah ngenalin lagi".
"Kayaknya aku harus pulang dulu, monya belum dikasih makan. Aku duluan yah man, put"
"Tunggu put, " Aku menahan tangannya, namun dia melepaskan peganganku dan pulang. Aku tahu putra pasti marah kenapa aku nggak jujur dari awal, put i'm just wanna say very very sorry. Aku pulang meninggalkan rahman di taman. Aku sudah nggak peduli lagi sama dia, yang aku tahu aku sayang sama putra, aku nggak bisa menerima rahman lagi sejak putra ada disisi aku dan aku selalu merasa putra disisi aku dan nggak pernah hilang meskipun aku dan dia jauh.

Hari-hari semakin sepi tanpa ada sms atau telepon serta kehadirannya, aku merasa hidup sendiri di dunia yang sepi dan luas. Meskipun rahman mencoba menghibur dan membuat ku tertawa, tapi aku tidak bisa melihatnya lagi yang aku ingin sekarang adalah putra hanya dia yang aku butuhkan sekarang hanya dia disini dan monya. Seandainya putra duluan yang menemukan aku, bukan rahman, andaikan putra duluan yang kutemukan, semuanya tak kan seperti ini. Aku benar-benar pusing, kulemparkan hp ke lantai. Alunan lagu simponi hitam mengalun aku segera mengambil hp dan membuka pesan dari putra
"I want to see you tomorrow in the park at 4 p.m" aku hanya berharap semoga besok dia seperti dulu lagi dan aku nggak mau semuanya berakhir seperti yang aku harapkan

KEESOKAN HARINYA....

Tinggal 15 menit lagi, benar nggak yah dia akan datang dan apa yang akan terjadi if I meet him. Beribu pertanyaan menghujam ku, akankah dia akan melupakan ini, atau. Jam 4 teng putra menghampiriku. Haruskah aku yang mengatakan duluan atau,,,
"why did not you tell me before, why do you have to lie, I do not believe you lied to me and monya. tahukah aku aku terluka".
“I was wrong and should I say to you from the beginning but I could not because I know I love you even though I've got someone else. This love for you just not going to change forever. Did you know"
"Tapi, kamu sudah punya orang lain. Dan itu nggak akan berubah sampai kamu putus dengannya, aku nyuruh kamu ke sini hanya untuk bilang sayangi rahman seperti dia menyayangimu, Aku hanya jadi yang ke 2nya, walaupun akhirnya aku tahu kamu sayang sama aku. Tapi itu nggak akan berubah, kamu masih milik rahman"
"Put, aku nggak mungkin bersama rahman lagi karena hanya kamu yang aku lihat dimanapun aku berada. Aku nggak bisa lagi melihat orang lain selain kamu. Apa aku salah karena menyayangimu. Aku harus bagaimana aku bingung put, aku hanya sayang kamu nggak ada yang lain". Air mata mulai jatuh dari kelopak mataku dan membasahi pipiku, aku bingung aku harus berbuat apa. Aku hanya memerlukan putra bukan yang lain tapi mengapa kenyataan ini harus memisahkan antara aku dan putra.

Putra memegang tanganku dan memelukku, aku menangis dalam pelukannya. Aku tahu harusnya aku nggak berbohong dengannya aku merasa sakit dan terluka bila jauh darinya. Aku tahu putra merasakan hal yang sama aku tahu perasaannya jauh lebih sakit daripada aku yang harus memilih antara pertemanan atau orang yang dia cintai. Sementara aku harus menjaga perasaan rahman dan harus memilih diantara ke 2nya. Putra melepaskan pelukannya lalu memegang tanganku.

"Put, aku hanya ingin kamu tahu aku memang menyayangimu bahkan mungkin lebih. Tapi aku tahu kamu sudah punya orang lain yang tak lain sahabat aku dan aku nggak mungkin merusak semua itu. Dan yang aku tahu juga cinta itu ngak harus memiliki. "Putra mencium keningku dan pergi meninggalkan aku sendirian. Air menetes dari langit bersamaan perginya putra, aku bingung, apa aku harus melupakan putra dan kembali pada rahman.
Tapi, hati ini tak akan bisa dibohongi. Aku menyayangi putra dan entah sihir apa yang membuatku menyukai putra, seharusnya aku tidak pernah bertemu dengan ke 2anya. Aku pulang kerumah dengan keadaan basah kuyup aku tidak bisa membedakan mana terang atau gelap karena walaupun terang bila tidak ada putra semua itu gelap.

Aku hanya bisa diam dan merenung di kamar, apa yang selama ini aku pikirkan untuk cinta ini. Apa aku egois atau ... aku melempar boneka, buku dan semuanya ke lantai. Aku tidur dan terlelap dalam mimpi yang didalamnya hanya gelap dan hanya ada aku, rahman, serta putra. Dan kita hanya diam yang lama-lama ke 2nya ditelan kegelapan aku bangun dengan bermandilkan keringat. Matahari mulai menyinari jendela kamarku dan kulihar putra dan rahman berada disamping temat tidurku. Apa aku masih bermimpi, aku ini fatamorgana atau hanya khayalan ku saja ku cubit tangan SAKIT. Sepertinya aku nggak mimpi putra tersenyum, dan segera menghampiriku lalu memelukku.

Aku bingung bukankah disebelah ada rahman mengapa dia berani melakukan ini. Aku jadi bingung tambah bingung dan pusing.
"Nggak usah bingung gitu put... aku sudah tahu kok, lagian cinta itu nggak bisa dipaksakan. Aku rela asal kamu bahagia.”
"Maksudnya?"
"Mungkin aku hanya bisa jadi teman kamu, tapi kalau putra kayaknya lebih cocok untuk jadi pacar kamu. "
"Jadi.... "
"Tuh kan benar, kalau aku tuh baru nemuin cewek seoon kamu! Put, rahman ngerelain kamu untuk jadi pacar aku, tandanya kamu dan rahman sudah nggak ada hubungan apapun. sekarang kamu sama aku udah jadian ngerti!"
"Okh..."
"gubrak deh..."

Mungkin ini semua bukan mimpi tapi kenyataan yang begitu sama dengan mimpi.
"Cinta ini hanya untukmu put"
"me too"
Putra mencium keningku, dan aku hanya tertawa pada monya yang keliatannya bingung. Namun monya seperti mengedipkan matanya padaku.


“Cerita ini gw dapet dari sebuah buku harian temen gw, yaa.. waktu itu cuma becandaan tapi akhir’y dya mau kalau cerita’y gw bikin sedemikian hingga yang telah kalian baca barusan. Sampai sekarang gw kadang² juga masih bikinin dya cerpen tentang hidup’y tapi sayang’y ngak boleh d’masukkan di blog gw ini yaa.., cuam ini doank yang boleh d’publikasikan. OK comrade teruskan kreasi meskipun tak ada lagi yang bisa d’lakukan meskipun hanya duduk manis di depan computer.. hehehe good luck all”
READ MORE - Cintaku Hanya Untukmu

Mimpi and Impian

| | 0 komentar |
Di suatu kota kecil, kota yang penduduknya hanya orang-orang yang terbuang, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Mimpi. Mimpi dibesarkan oleh keluarga yang sangat sederhana, keluarga yang selalu dikucilkan oleh orang lain. Hanya beberapa kilometer dari kota itu, terdapat sebuah kota yang sangat modern. Di kota itu lahir seorang anak perempuan bernama Impian. Impian lahir di keluarga yang mapan. Kedua anak itu lahir diwaktu yang sama, hari yang sama, meskipun ditempat yang jauh berbeda. Perbedaan yang sangat menyedihkan.

Mimpi dan Impian, anak yang mempunyai talenta lebih dari pada yang lain. Tapi sayang saat kanak-kanak, Mimpi sudah harus merasakan kehidupan yang keras, Mimpi sudah harus berjualan Koran di kota seberang, yaitu kota kelahiran Impian. sedangkan Impian, selalu dimanja, apapun yang ia mau, pasti diberikan oleh kedua orang tuanya. Itu membuat Impian menjadi anak yang tidak mandiri. Saat mereka seharusnya sudah duduk di bangku sekolah pertama, yaitu di SD, mimpi masih berjualan Koran sedangkan Impian bersekolah dengan sifat manjanya. Mimpi yang hanya bisa pasrah karena kedua orang tuanya tidak bisa menyekolahkannya, padahal Mimpi mempunyai cita-cita sebagai seorang arsitek.

Suatu saat, Mimpi sedang mengantarkan pesanan ke suatu rumah dan ternyata rumah tersebut adalah rumah Impian. Itulah saat pertama kali mereka bertemu. Orang tua Impian sangat iba melihat Mimpi harus berjualan Koran setiap hari padahal seharusnya Mimpi bersekolah. Setelah melihat Mimpi, timbulah rasa malu pada kedua orang tua itu.
Timbulah percakapan antara Mimpi dan Orang tua Impian.
“Siapa namanya, dik?” Tanya kedua pasangan suami istri itu kepada Mimpi
“Mimpi, nama saya Mimpi: jawab mimpi
“Mengapa kamu harus berjualan Koran? Padahal kamu seharusnya bersekolah?” kembali pasangan itu bertanya kepada Mimpi“
Kedua orang tua saya tidak dapat membiayai saya bersekolah.” Jawab Mimpi dengan sedihnya

Dengan perasaan iba, akhirnya orang tua Impian membiayai Mimpi untuk bersekolah. Mimpi yang senang karena ia bisa bersekolah, langsung kembali ke rumahnya dan menceritakannya kepada kedua orang tuanya. Setelah mendengar berita tersebut, kedua orang tua Mimpi sangat senang dan gembira. Orang tua Mimpi langsung mendatangi rumah Impian dan mengucapkan terima kasih. Impian yang mendengar cerita tersebut langsung merasa cemburu, karena kedua orang tuannya memperhatikan orang lain.

Maklum saja Impian selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Impian sama sekali tidak mau berteman dengan Mimpi. Hari demi hari dijalani, Mimpi selalu menunjukan yang terbaik. Ia selalu mendapatkan hasil yang terbaik di setiap pelajaran. Impian pun semakin cemburu dan semakin membenci Mimpi. Sudah setahun berlalu Impian masih merasakan kecemburuannya.

Hingga mereka berdua duduk di bangku sekolah SMP, Impian pun sangat benci dengan Mimpi. Sampai akhirnya kedua orang tua Impian mengetahui hal ini. Kedua orang tua itu berinisiatif untuk mengajak liburan Impian ke rumah Mimpi selama beberapa Minggu saat liburan sekolah nanti.

Liburan sekolah pun telah tiba, Orang tua Impian mulai melaksanakan rencananya.
“Impian, liburan kali ini kita akan pergi ke tempat yang spesial”
Kedua orang tua itu pun mulai membuat Impian penasaran. Impian sangat senang mendengarnya, ia langsung pergi ke kamarnya dan mempersiapkan barang-barangnya. Pada malam hari sebelum berangkat, kedua orang tua Impian diam-diam pergi ketempat Mimpi. Kedua orang tua itu menceritakan apa yang ingin mereka lakukan. Orang tua Mimpi pun menyetujuinya. Untung saat itu Mimpi sudah tidur jadi ia juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi.

Keesokan hari pun tiba, Impian bergegas bangun dan bersiap-siap. Impian masih belum tahu apa yang telah direncanakan kedua orang tuanya. Hingga akhirnya Impian tiba di kota kelahiran Mimpi. Impian yang bingung langsung bertanya kepada ayahnya.
“ayah, kenapa kita kesini? Bukannya kata ayah kita akan pergi ketempat special?” Tanya Impian kepada ayahnya.
Sang ayah hanya tersenyum, Impian pun semakin bingung. Mereka sekeluarga pun tiba di rumah Mimpi. Rumah yang kecil, kumuh, dan hanya beratapkan jerami. Sungguh rumah yang sangat tidak layak. Lingkungan sekitar pun sama, kotor, kumuh, dan tidak terawat. Impian merasa sangat bingung dan kaget. Ia berpikir mengapa ayahnya mengajak ia kesini. Mimpi pun keluar dari rumahnya untuk kembali berjualan koran. Mimpi dan Impian sama-sama kaget. Mereka berdua sama sekali tidak percaya.
“Mengapa Mimpi ada disini?” teriak Impian karena kaget.

Hal yang sama pun terjadi kepada Mimpi. Mereka benar-benar kaget. Kedua orang tua Impian hanya menjelaskan bahwa mereka akan berlibur di rumah Mimpi. Tak lama kemudian kedua orang tua Mimpi pun keluar dari rumah dan menyambut keluarga Impian. Karena sebelumnya Mimpi berniat ingin berjualan koran, Mimpi pun langsung bergegas pergi tanpa memikirkan Impian, tetapi kedua orang tua Impian menyuruh Impian untuk ikut berjualan bersama Mimpi. Impian kaget dan langsung menolaknya. Setelah dipaksa akhirnya Impian mau berjualan bersama Mimpi. Dengan rasa kesal Impian mengikuti Mimpi dari belakang.

“huh..... Mimpi mau kemana kita, aku sudah capek nih” keluh Impian kepada Mimpi.
Mimpi pun hanya bisa diam dan terus berjalan. Hingga akhirnya Mereka sampai di distributor koran. Impian yang merasa lelah karena ia tidak biasa berjalan jauh, mulai memberontak dengan tidak mau berjalan lagi. Mimpi menghiraukan Impian dan terus melanjutkan pekerjaannya. Impian yang tidak mau ditinggal langsung lari mengejar Mimpi.

“Mimpi.... tunggu.. jangan terlalu cepat.” Teriak Impian mencoba untuk mengejar Mimpi.
Impian sangat lelah, padahal perjalanan mereka untuk sampai di kota Impian masih sangat jauh. Impian pun mulai merasa mengagumi Mimpi. Impian mulai diam dan memperhatikan Mimpi. Ia mulai tidak mengeluh lagi. Setelah melihat Mimpi berjualan koran dan pengorbanannya dalam pekerjaan itu, Impian mulai merasa malu dan merasa sangat bersalah. Ia sangat merasa bersalah, karena ia selalu membenci Mimpi.

Hari pun sudah sore.Saatnya Mimpi dan Impian untuk kembali ke rumah. Impian yang merasa sangat bersalah hingga ia tidak bisa tidur semalaman. Ia terus memikirkan dan membandingkan ia dengan Mimpi. Setelah satu minggu, Impian pun sudah mulai berubah. Ia tidak lagi mengeluh. Ia mulai terbiasa hidup seperti Mimpi. Ia menjadi tidak manja lagi. Kedua orang tua Impian pun merasa sangat senang dengan perubahan yang dialami anaknya.

Libur sekolah pun sudah selesai. Mimpi dan Impian kembali bersekolah. Sekarang mereka berdua menjadi sahabat yang sangat akrab. Bersama dengan Mimpi, Impian mulai menjadi salah satu murid terpandai disekolahnya. Tahun demi tahun dijalani. Mereka berdua bertambah akrab. Mereka berdua pun sama-sama bercita-cita sebagai Arsitek.

Sekarang mereka pun sudah duduk dibangku kuliah. Mereka berhasil masuk di jurusan arsitek di universitas nomor satu di negara itu. Kedua orang tua mereka merasa sangat bangga. Mimpi dan Impian bisa kuliah dengan beasiswa sebagai murid terbaik di sekolahnya dulu. Hingga saat Mimpi dan Impian sedang menjalani skripsi. Mimpi mendapat kabar dari kotanya, bahwa ayahnya meninggal karena stroke dan ibunya pun juga meninggal karena tidak bisa menerima suaminya meninggal. Mimpi pun sangat sedih. Skripsnya terbengkalai. Beruntung ada Impian yang menyemangati Mimpi.

“Mimpi, jangalah terus bersedih. Pikirkanlah kuliahmu. Pasti kedua orang tuamu mau supaya kamu lulus kuliah dan menjadi arsitek terkenal.” Bujuk Impian kepada Mimpi.

Setelah 3 hari akhirnya Mimpi terbujuk. Mimpi kembali bersemangat untuk mengerjakan tugas terakhirnya. Hari sidang pun tiba. Mimpi dan Impian berhasil melewatinya dengan sangat baik. Mereka berdua pun lulus sebagai arsitek dengan nilai tertinggi.

Selang beberapa hari setelah kelulusannya. Mimpi dan Impian sudah mendapatkan pekerjaan. Mereka berdua pun sangat senang. Mereka diminta untuk membangun sebuah rumah untuk presiden negaranya saat itu. Pekerjaan yang sangat membanggakan. Mereka pun langsung memulai perencanaannya dan langsung membangunnya. Setelah lima bulan rumah yang mereka bangun pun selesai dengan sempurna. Presiden negara itu pun sangat takjub melihat rumahnya yang dibangun oleh kedua arsitek itu.

Semenjak saat itu mereka berdua menjadi sangat terkenal. Setiap hari pasti ada pekerjaan yang mendatangi mereka. Penghasilan mereka pun sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Mereka pun juga membuat sebuah kantor arsitek yang banyak memperkerjakan arsitek-arsitek handal. Suatu saat Mimpi merasa ada yang kurang. Ia tidak puas dengan apa yang telah ia bangun. Ia mulai mencari kekurangan itu. Impian pun membantunya. Setelah berpikir cukup panjang, akhirnya Mimpi teringat akan kampung halamannya.

“Impian, aku rindu dengan kampung halaman ku. Kamu mau ikut pergi bersamaku?” tanya Mimpi kepada Impian..
Impian hanya mengangguk. Mimpi pun bergegas pergi ke kampung halamannya. Setelah sampai, Mimpi sangat kaget. Kampung halamannya semakin tidak terawat. Rumah-rumah sudah banyak yang runtuh. Seperti habis terkena angin topan saja. Mimpi sangat sedih. Impian mencoba membantu Mimpi. Ia memberikan sebuah ide kepada Mimpi.
“Mimpi, bagaimana penghasilan kita berdua yang kita telah kumpulkan, kita pakai untuk membangun kota ini?” tanya Impian kepada Mimpi.

Mimpi pun berpikir dan akhirnya menyetujuinya. Satu persatu lahan dikota itu dibangun kembali. Impian pun juga membantu dengan menelfon teman-temannya untuk bekerja di kota ini. Satu persatu teman Impian datang ke kota itu untuk bekerja sesuai pekerjaan yang telah ditekuni. Dan kota itu pun menjadi berkembang. Kini kota itu sudah menjadi kota besar yang penduduknya sudah tidak dikucilkan lagi. Penduduk dikota itu sudah berubah menjadi lebih baik.

Mimpi dan Impian pun mulai merasakan adanya kecocokan diantara mereka. Mereka berdua pun sudah saling mengenal satu sama lain. Karena itu, Mimpi pun memberanikan diri untuk melamar Impian ke jenjang pernikahan.
“Impian, dulu kita sama sekali tidak saling mengenal, hingga kita dipertemukan, meskipun kamu dulu pernah membenci saya. Hingga kita dibuat dekat oleh kedua orang tuamu. Kita telah menjalani hari-hari dengan bersama. Susah, senang telah kita lalui.” Kata Mimpi kepada Impian dengan tersendat-sendat.
“Benar, kita sudah menjalani kehidupan dengan bersama hingga sekarang. Memang kenapa Mimpi?” Tanya Impian kepada Mimpi.
“Impian… Apakah kamu mau menikah dengan saya?” Tanya Mimpi kepada Impian dengan berani.
“A…aa..apa? Benarkah itu yang kau ucapkan Mimpi?” kembali Impian bertanya kepada Mimpi.
Mimpi pun mengangguk. Dengan hati yang senang Impian menerimanya. Pesta pernikahan pun diadakan. Pesta pernikahan yang sungguh meriah. Pada hari itu juga, mereka telah menjadi pasangan yang sangat berbahagia. Satu tahun pun berlalu. Mereka telah dikaruniai anak pertama mereka. Seorang bayi laki-laki yang lucu dan menggemaskan. Mereka sangat menyayangi anak mereka. Mereka selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anaknya.

Selang beberapa tahun, mereka kembali dikaruniai seorang anak Kali ini mereka mendapatkan seorang perempuan yang cantik. Kebahagiaan mereka pun bertambah. Mereka pun juga memberikan Kasih sayang dan perhatian yang sama kepada anak perempuannya.

Berkat didikan dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tua mereka, saat mereka dewasa, mereka menjadi orang yang sukses di bidangnya masing-masing. Sang anak laki-laki berhasil menjadi seorang anggota polisi khusus yang bekerja di Badan Keamanan Dunia dan sang anak perempuan pun berhasil menjadi seorang dokter yang bekerja di WHO Sungguh keluarga yang sangat bahagia. Seluruh dunia pun telah mendengar kisah sukses ini. Para presiden di dunia pun setuju untuk mengangkat Mimpi dan Impian menjadi Arsitek nomor satu di dunia. Atas kinerjanya juga, anak laki-laki mereka diangkat Kepala Polisi Dunia dan Anak perempuan mereka pun diangkat sebagai Sekretaris jendral WHO.

“Setiap usaha yang kita lakukan pasti akan selalu ada timbal balik dari semua yang telah kita kerjakan, meskipun itu semua harus diawali dengan susah payah”
READ MORE - Mimpi and Impian

Sahabat Sejati Yang Telah Pergi

| Kamis, 01 Juli 2010 | 0 komentar |
Cerita ini berawal dari gw nemu'in temen waktu naek bus waktu mo pulkam ke BJN n akhir'y gw bikin ne cerita. next silahkan baca..!!

Namaku Danti umurku 17 tahun aku punya sahabat namanya Rasti sejak kecil aku sudah bersahabat denganya,dulu kita berjanji untuk bersahabat untuk sehidup semati. Tetapi sekarang dia sudah tidak pernah berbicara sepatah katapun kepadaku karena dia sudah mempunyai sahabat baru dan tidak pernah memperdulikan aku lagi.

Ketika itu hari pertama kita masuk kelas 6 ada anak baru bernama Asti. Setelah Rasti berkenalan dengan nya dia sudah tidak pernah berbicara lagi dengan ku.Kadang² aku suka menangis dalam hati kenapa sahabatku bisa meninggalkanku begitu saja Akhirnya aku mempunyai sahabat baru bernama Lisa ia baik sekali dengan ku dia tahu semua ceritaku mulai Rasti menjalin persahabatan denganku sampai Rasti memutuskan tali persahabatan.Lisa anaknya pintar jadi aku sering belajar bersama.

Pada suatu hari Asti tidak masuk selama seminggu karena sakit, selama itu juga Rasti tidak ada teman bicara.Tiba2 Rasti mengajaku mengobrol seperti orang yang tidak mempunyai salah apa².

“Hey,apa kabar nih, Dan?”Tanya Rasti sok akrab.
“Baik emang,napa ?”
“ngak nanya doang !”Gak mutu Jawabku dalam hati.
“Eh lis ke kantin yuk!”Ajakku ke Lisa dan memotong pembicaraan Rasti.
“yuk”jawab Lisa singkat.

Akhirnya aku ke kantin bareng Lisa aku membeli mie goreng karena udah laper BANGET. Pulangnya aku dapet SMS :

“Kok lo cuek banget sama gua. Emangnya kenapa?”Tanya Rasti
“Seharusnya lo tuh mikir dong kenapa? Kenapa dulu lu jauhin gue?Tp sekarang lo berpaling ke gue ketika dia Nggak masuk”Jawabku
“Lho emangnya salah ya kan gua coba Berteman dengan yang lain”Jawab Rasti
“Lu tuh seharusnya tau gimana perasaan gue Yg selama ini telah menjadi sahabat lu yang setia Dan emang lu lupa dengan janji kita?”jawabku
“Gue tau perasaan lu Dan gue masih inget dengan janji kita ‘Kita harus selalu bersahabat sampai mati’”jawabnya
“Terus kenapa lu tinggalin gue begitu aja.”jawabku
“ah susah ya ngomong ama lu”jawabnya dengan nada marah

Esoknya Lisa datang ke rumah ku untuk ngerjain PR bareng. Katanya panyakitnya demam berdarah Asti sudah tidak parah lagi. Aku bersyukur karena sebentar lagi dia akan masuk kelas dan Rasti tidak kesepian lagi. Walaupun aku kesal denganya tetapi tidak mungkin aku kesal denganya dalam semua hal. Esok harinya Asti tetap belum tidak masuk karena masih sakit pastinya Rasti masih kesepian karena tidak ada yang mengajak dia ngobrol karena merasa kasihan lisa mengobrol dengan nya akupun hanya mendengarkan musik memakai headset. Ketika aku pulang bersama Lisa aku bertanya.

“Eh sa tadi kok lu nggak ngobrol sama gue ?”tanyaku“
gue kasihan sama Rasti ajah. Ke Mall yuk gue mau beli sesuatu .”ajak Rasti.
“yuk!”

Ketika di mall kita bertemu sama Asti

“Kok lu nggak masuk lagi.”tanyaku“
sebenarnya penyakit gue udah lama sembuh tp sama orang tua gue disuruh nggak masuk dulu takutnya temen² bisa ketularan.”jwab dia
“Eh makan yuk laper nih. Hehehehe sorry ganggu yang lagi ngomong “ajak Lisa sambil cengengesan.

Lalu kita langsung pergi ke tempat makan yang sudah kita setujui yaitu KFC.
“As,lu besok bisa masuk nggak kasihan tuh si Rasti nggak ada temen ngobrol.”ajak Lisa kepada Asti untuk masuk sekolah.
“Tapi gue males nih kalau ngobrolnya sama Rasti gue kan juga mau ngobrol bareng kalian.”curhat Asti tentang sahabatnya itu(Rasti)
“Emangnya kenapa kok lu bisa² sebel sama dia ?”Tanya ku“sampe² si Rasti mutusin tali persahabatan dia dengan Danti untuk berteman dengan lu.”tambah Lisa membuat suasana memanas.
“Jadi sebenernya lu udah sahabatan sejak kapan kok gue nggak pernah dikasih tau sama dia ?”Tanya Asti bingung
“Hah,jadi lu sama sekali nggak tau,aneh. Danti itu udah bersahabat dengan Rasti sejak kecil dan setelah kelas 6 dia berpaling ke lu deh tapi maaf lo bukannya semua hal yang terjadi ini salah lu .”jelas Lisa panjang lebar.
“oh getu ceritanya yak kok gue gak pernah tau ya”ujar Asti bingung.
“Tapi as,lu jangan jangan ngejauhin Rasti ya gue kasihan ma dia”kata Lisa
“Eh gue mau beli sesuatu nih ke toko buku yuk”ajak aku.
“Kayaknya gue nggak bisa ikut deh soalnya gue udah harus pulang dah”tolak Asti
“Ya sudah deh gue pergi bareng sama Lisa aja deh, dah juga
”kataku sambil menggandeng tangan Lisa“Dah!”kata Lisa dengan melambaikan tangan“Good bye,see you later”

Dalam hati aku berfikir ,ternyata selama ini asti tidak suka ngobrol sama Rasti terus dia pingin ngobrol dengan aku dan Lisa ANEH…….. Aku tahu kalau hal ini aku kasih tau ke Rasti pasti dia akan lebih kesepian lagi. Ketika sampai dirumah di HP ku ada SMS dari Asti isinya:
“Jangan kasih tau Rasti kalau gue enggak suka sama dia Oke!!Oh iya jangan bilang ke guru kalau gue udah sembuh soalnya gue masih males masuk sekolah hehehehe

”Hari berikutnya walaupun Asti sudah sembuh tapi belum masuk dasar pemalas.“eh lu di sms asti nggak?”Tanyaku Lisa memberi isyarat yang artinya iya.
“Yuk kita pergi upacara udah mau mulai nih!”Ajak Lisa
“Tunggu dulu gue mau ngambil topi dulu!”jawab ku sambil mencari topi.
“Oke deh gue pergi duluan ajah ya!”Jawab Lisa dan langsung pergi.
“Tadi lu bilang Asti sms lu sama lisa ya?”Tanya Rasti dengan tampang mukanya yang sedih.
“Emangnya kenapa?”
“Soalnya Asti udah nggak pernah sms gue lagi ketika dia sakit kenapa ya?”Tanya Rasti bingung.

Esok Harinya Asti akhirnya masuk karena udah lumayan baikan,yah….. sebenernya udah lama sih dia sembuh. Walaupun Asti tidak mau berteman dengan Rasti tetapi dia terpaksa karena dia merasa kasihan ke Rasti. Tiba-tiba Rasti pingsan semua anak membawanya ke UKS. Teman-teman kebingungan kenapa dia tiba-tiba pingsan. Orang tua Rasti sudah ditelpon dan mereka datang secepat mungkin, orang tuanya membawa Rasti ke rumah sakit terdekat. Ternyata dia menderita penyakit kurang darah yang sudah sangat kritis sebentar lagi dia tidak bisa menghirup udara segar lagi. Pantas saja dari hari ke hari kok muka Rasty tambah pucet. Aku bertanya-tanya sejak kapan dia mengidap penyakit itu kenapa dia nggak bilang padaku kenapa..?, kapan..?, bagaimana..?, semua pertanyaan itu terngiang di kepalaku. Rasa sedih, rasa kasihan semua rasa berkecamuk di dalam hatiku, aku minta maaf dalam hati “maafkan aku ketika di waktu-waktu akhir hidupmu aku tidak memaafkan mu, maafkan aku Rasti.

”Diakhir-akhir hidupnya dia berkata padaku: “Sebenernya penyakit ini sudah kuderita sudah lama karena itu juga aku ngejauhin kamu supaya kamu tidak terlalu sedih memikirkan aku, maafkan aku Danti” Ucap Rasti sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Maafkan aku Rasti dan selamat tinggal” Teriaku ketika Rasti menghembuskan nafasnya yang terakhir. Walaupun dia sudah lama menderita penyakit ini tetapi sudah tidak ada darah lagi yang bisa didonorkan karena golongan darah Rasti termasuk golongan darah yang susah didapatkan. Ku berdoa supaya Rasti diterima di sisi Allah. Amiiin……..
READ MORE - Sahabat Sejati Yang Telah Pergi

Cahaya Bulan dari Surga

| | 0 komentar |
Aku Malaikat Malam, Yang selalu Menunggu SinarNya bulan...

Tapi Kali ini aku redup, terbius angin kencang yang menyelimuti Kalbu...

"Kenapa tak bilang saja? apa yang harus kau katakan"

"Tak perlu, aku akan katakan sekarang juga padanya, ketika dia sudah datang"

"Tapi sampai kapan, kali saja dia tak datang malam ini"

"entahlah, tapi aku yakin, dia pasti akan datang"

Sinar terangnya mengiringi langkahnya. lekuk tubuhnya nampak jelas dibias cahaya rembulan.

"Sekarang dia datang"

aku malaikat malam, yang selalu menunggu sinarnya bulan...

tapi kali ini aku redup, terbius angin kencang yang menyelimuti jiwa...

"Dia datang, cepat katakan padanya"

wajahku tertunduk lesu ketika ia membawa cahaya baru yang berada disampingnya, ini jalannya, tak bisa kuhalangi...

sampaikan pada bintang bahwa aku tak bisa memilikinya...
READ MORE - Cahaya Bulan dari Surga

Pengen Pintarr...?? Ya Belajarr...!!

| | 0 komentar |
Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak ketika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.

Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.

Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.

“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.

Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.

“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”

“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.

“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.

Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.

“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.

* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.

Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.

“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.

“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”

“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”

“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.

“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.
READ MORE - Pengen Pintarr...?? Ya Belajarr...!!

Sebuah Tugas Statistik

| | 0 komentar |
Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”

“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.
READ MORE - Sebuah Tugas Statistik

Selembar Uang 5000 an

| | 0 komentar |
Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”

Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.

“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.

“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.

“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampung itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.

“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”

* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.

“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.

“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.

Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.

“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatur nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.

“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.
READ MORE - Selembar Uang 5000 an

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu