“Berbuat baik bukan berarti selalu menjadikan semua menjadi lebih baik karena perbuatan yang baik belum tentu di pandang baik di mata khalayak masyarakat di sekitar kita, jadi bersikap sewajarnya lebih dari cukup dari pada membuat iri dan dengki menyelimuti hati kita.”
Aku sempat melihat gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam semakin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap.
Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panic, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku, orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku ke penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku.
Kantuk yang menggelayut di mataku kuempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas !! Waspadalah hey bedebah !!
Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan menambah pekerjaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa bertemu dengan Molly, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku mala mini. Tapi cita-cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak manusiawi !!
Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati. Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum masam. Daging itu hanya ku lihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana daging penuh racun. Orang itu terlalu meremehkan. Dia mengira aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong. Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharapkan pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi.
Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak menyerah. Ini usaha yang sangat ku hargai. Ia melemparkan lagi segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati dihajar masa gara-gar tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur : “ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini.”
Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh masih punya niat baik.
Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan. Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu menyerangku. Kepada sesame anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi kepada manusia ? Ahh, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri. Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum ramahnya. Aku harus waspada. Awas !!
Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam. Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memeberikan isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Ku amati orang itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya, penuh denga kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah !! Urat orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul degan para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai, sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku.
Ya, Tuhan dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu cengeng. Tapi sebentar…, tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing terharu). Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-diam ia menyimpan pisau, dan siap dihujamkan di perutku. Maka, kuambil jarak beberapa meter. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu).
Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya hanya menelikung pihak lain ? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani menyimpulkan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu.
Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu dalam dan gelap. Tanganya mengelur-elus kepalaku. Kubalas sentuhan itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lainya. Ternyata perlengkapan maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran. Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang masa.
Pelan-pelan ia menyelinap pepohonan. Hujan trun makin deras. Aku terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas pengkhianatanku, namun aku juga berdo’a semoga orang itu selamat. Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumahnya.
Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa bungkusan. Aku hanya berdo’a semoga saja dia bukan maling yang rakus dan hanya mencuri arloji, handphone, atau benda-benda lainya. Dengan langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging itu murni, bukan seperti yang dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera makan.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari dalam rumah tuanku. Istri tuanku menjerit-jerit histeris, sambil menyebut kalung berliannya yang hilang. Suaminya berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan senapan yang membabi buta. Kata “MALING…” diteriakkan berulang-ulang. Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera berlari. Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung dibalik pohon rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam sekejap. Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu tumbang, dan tersungkur ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan maling itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras, hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku. Hampir taka da yang peduli dengan mayat maling malang itu yang membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisannya, tangis anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh kesunyian.
“BINATANG PUN PUNYA PERASAAN TERHADAP MANUSIA TAPI, MENGAPA KITA SERING MENJUPAI MANUSIA SELALU BERBUAT KASAR TERHADAP BINATANG, MUNGKINKAH SIFAT BINATANG SUDAH BERPINDAH KE SIFAT MANUSIA JAMAN SEKARANG !!.”
Cikarang, 8 Oktober 2010
HaNz UkhitaShiwa
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!