Suatu hari di bulan Mei, seseoramg mengirimi ku sepasang sepatu, tepat saat aku sedang membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang beberapa minggu sebelumnya ku beli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya sudah mulai retak-retak, pokoknya mengenaskan.
Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat, menjadikan kaki ku tak nyaman memakainya. Semua mata seolah menyipit atau melotot penuh ejekan saat menatap ke kakiku yang melangkah kemana saja, hingga rasanya tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin amblas ke dalam bumi. Pernah aku mengadukan perihal ini kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu yang harganya hampir setengah juta ini.
Akan tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. " Menyesal kami tidak bisa memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus ini memang tidak diatur dalam perjanjian pembelian. Bila Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang baru, " katanya.
Kalimat yang disampaikan dengan lembut itu tetap saja serasa menggempur dada ini. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan wajah manis, inosen dan sedikit manja. Perempuan berparas ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang bisa ku lakukan hanyalah memarahi diri sendiri, menyesali kelemahanku ini.
Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke mana pun pergi aku hanya menggunakan sendal kulit yang sudah lama ku campakkan. Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi ya itulah, aku tak ingin musibah seperti ini bisa menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa membuatku kecewa, apalagi sepatu " Ebrekan ". Sampai beberapa minggu kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru seperti apa yang aku harapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sendal usang ini mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang ku dengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut. Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah kabar tersebut. Pernah tersirat dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang licik yang sengaja menyembunyikan kekayaan yang mereka miliki di desa. Tetapi karena hal itu bukan merupakan kesalahan, aku pun hanya bisa terdiam.
Kubaca sekali lagi secarik kertas yang bertuliskan ucapan " Selamat Ulang Tahun " yang ku ambil dari sebuah kardus tempat sepatu. " Mudah-mudahan Mei tahun ini memberimu kebahagiaan. " Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa gerangan yang sudah berbaik hati mengirimi aku sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu ??! Apa maksudnya ??! Apa ia salah seorang yang selama ini memperhatikanku, kemana pun aku pergi hanya dengan mengenakan sendal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu repot-repot mengirimkan sepasang sepatu ini ??! Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang lalu membagikan sisa barang gudangnya ??! Tetapi mengapa hanya aku.., bukankah di kampung ini banyak juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki sama sekali ??! Apapun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang tepat.
Tatkala perasaan di dadaku ini sudah sampai pada puncaknya, aku kenakan sepatu itu dan mematut diri di depan kaca, sambil sesekali ku usir debu pada permukaannya agar agar sepatu itu tampak mengkilap. Setelah kurasakan cukup mengkilap, ku masukkan kembali sepatu itu ke dalam kardus dan ku simpan di tempat yang cukup aman. Artinya terlindung dari pandangan anak-anak satu kost. Maklum, jika melihat benda baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dahulu tanpa mempertimbangkan perasaan pemiliknya.
***
Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari siapa, sampai saat ini pun aku tetap tak tahu. Tak ada satu pun petunjuk mengatakan kepadaku tentang diri si pengirim misterius itu. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya. Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya diri. Dengan gesperputih mengkilap dan potongan dinamis, sepatu itu sangat cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu itu sepertinya cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepasang sepatu ini telah menjebatani duniaku dan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan kata kunci bagiku untuk pintu yang dibaliknya, tersaji gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret dengan keadaan yang aku sendiri hendak menolaknya, seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia hampir mirip dengan anggota TRIAD, seperti dalam film-film laga.
Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupap sepasang sepatu.
" Saya memang berharap banyak dari anda. Saya harap anda bersedia menjadi calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah, " katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.
Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum. Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihannya mendekatiku, ada rasa iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan pemberiannya. tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan niat itu.
" Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meskipun saya tak ingin tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu, " kataku tegas.
Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
***
Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang, mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka cari, toh ketika semua usai, yell-yell yang memenuhi udara tak akan ada artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.
Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain lebih senang mengalah. " Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta, " kata Ketua Cabang berapi-api.
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.
Ach.., sudahlah !! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku. Apakah itu sekedar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yell-yell murahan. Aku hanya tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Mo, penjual air di kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping itu setumpuk kaos dengan gambar-gambar berbeda. Ketika dengan menjawab, " Ach.., ngaa ada maksud lain kok, Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun sekali. "
Dikala itu aku menatapnya dengan heran, jawabanya yang tanpa nada getir sedikitpun ternyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang macam Wak Mo. " Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik, " kata Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menghela napas, menahan di terhadap kata-kata politisi kampung tersebut. Moil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam, sampailah ditempat tujuan kami.
Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Disebelah kiri dan kana bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Keanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian besar tampak kerepotan mengendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu makin keras yang membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikab massa yang makin berjubel disekitar lokasi.
" Mengapa.., kurang sehat ?! Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka, " Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa sakit kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas panggung. Merdeka..!! Merdeka..!! Merdeka..!! pekikku setengah hati. Aku tak peduli lagi bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.
" Hallo ibu-ibu, Saudara-saudaraku sekalian, dimana para suami ?? Mengapa mereka tak ikut hadir bersama kalian di sini ?? " teriakku lantang meski aku sendiri tak tahu ke mana arah pertanyaan itu. " Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut kesini kami semua tidak bisa makan !!?"
Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus kesawah ladang untuk sekedar sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku harus berdiri di sini dengan berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tanpa tujuan, karena tiba-tiba para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa mereka lebih tinggi dibangingkan dengan aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri setiap orang, terutama Bendahara Partai.
Sesampainya di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin. Kini hampir setiap sore usai melaksanakan tugas dari kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke toko sepatu atau ke mall-mall sekedar mencari sepatu yang persis sama seperti yang pernah di kirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku menemukan sepatu seperti apa yang ku harapkan.
" Saya kira itu model special editon, edisi spesial pak, " sahut salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar putus asa.
Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekakngku si suatu tempat tanpa pernah memberiku ruang gerak sedikitpun. Ia telah memenjarakanku dengan tampilannya yang trende tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap kali menyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.
Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku, barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus kebebasanku kembali. ***
Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat, menjadikan kaki ku tak nyaman memakainya. Semua mata seolah menyipit atau melotot penuh ejekan saat menatap ke kakiku yang melangkah kemana saja, hingga rasanya tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin amblas ke dalam bumi. Pernah aku mengadukan perihal ini kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu yang harganya hampir setengah juta ini.
Akan tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. " Menyesal kami tidak bisa memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus ini memang tidak diatur dalam perjanjian pembelian. Bila Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang baru, " katanya.
Kalimat yang disampaikan dengan lembut itu tetap saja serasa menggempur dada ini. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan wajah manis, inosen dan sedikit manja. Perempuan berparas ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang bisa ku lakukan hanyalah memarahi diri sendiri, menyesali kelemahanku ini.
Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke mana pun pergi aku hanya menggunakan sendal kulit yang sudah lama ku campakkan. Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi ya itulah, aku tak ingin musibah seperti ini bisa menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa membuatku kecewa, apalagi sepatu " Ebrekan ". Sampai beberapa minggu kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru seperti apa yang aku harapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sendal usang ini mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang ku dengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut. Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah kabar tersebut. Pernah tersirat dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang licik yang sengaja menyembunyikan kekayaan yang mereka miliki di desa. Tetapi karena hal itu bukan merupakan kesalahan, aku pun hanya bisa terdiam.
Kubaca sekali lagi secarik kertas yang bertuliskan ucapan " Selamat Ulang Tahun " yang ku ambil dari sebuah kardus tempat sepatu. " Mudah-mudahan Mei tahun ini memberimu kebahagiaan. " Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa gerangan yang sudah berbaik hati mengirimi aku sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu ??! Apa maksudnya ??! Apa ia salah seorang yang selama ini memperhatikanku, kemana pun aku pergi hanya dengan mengenakan sendal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu repot-repot mengirimkan sepasang sepatu ini ??! Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang lalu membagikan sisa barang gudangnya ??! Tetapi mengapa hanya aku.., bukankah di kampung ini banyak juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki sama sekali ??! Apapun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang tepat.
Tatkala perasaan di dadaku ini sudah sampai pada puncaknya, aku kenakan sepatu itu dan mematut diri di depan kaca, sambil sesekali ku usir debu pada permukaannya agar agar sepatu itu tampak mengkilap. Setelah kurasakan cukup mengkilap, ku masukkan kembali sepatu itu ke dalam kardus dan ku simpan di tempat yang cukup aman. Artinya terlindung dari pandangan anak-anak satu kost. Maklum, jika melihat benda baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dahulu tanpa mempertimbangkan perasaan pemiliknya.
***
Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari siapa, sampai saat ini pun aku tetap tak tahu. Tak ada satu pun petunjuk mengatakan kepadaku tentang diri si pengirim misterius itu. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya. Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya diri. Dengan gesperputih mengkilap dan potongan dinamis, sepatu itu sangat cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu itu sepertinya cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepasang sepatu ini telah menjebatani duniaku dan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan kata kunci bagiku untuk pintu yang dibaliknya, tersaji gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret dengan keadaan yang aku sendiri hendak menolaknya, seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia hampir mirip dengan anggota TRIAD, seperti dalam film-film laga.
Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupap sepasang sepatu.
" Saya memang berharap banyak dari anda. Saya harap anda bersedia menjadi calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah, " katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.
Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum. Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihannya mendekatiku, ada rasa iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan pemberiannya. tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan niat itu.
" Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meskipun saya tak ingin tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu, " kataku tegas.
Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
***
Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang, mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka cari, toh ketika semua usai, yell-yell yang memenuhi udara tak akan ada artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.
Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain lebih senang mengalah. " Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta, " kata Ketua Cabang berapi-api.
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.
Ach.., sudahlah !! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku. Apakah itu sekedar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yell-yell murahan. Aku hanya tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Mo, penjual air di kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping itu setumpuk kaos dengan gambar-gambar berbeda. Ketika dengan menjawab, " Ach.., ngaa ada maksud lain kok, Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun sekali. "
Dikala itu aku menatapnya dengan heran, jawabanya yang tanpa nada getir sedikitpun ternyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang macam Wak Mo. " Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik, " kata Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menghela napas, menahan di terhadap kata-kata politisi kampung tersebut. Moil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam, sampailah ditempat tujuan kami.
Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Disebelah kiri dan kana bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Keanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian besar tampak kerepotan mengendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu makin keras yang membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikab massa yang makin berjubel disekitar lokasi.
" Mengapa.., kurang sehat ?! Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka, " Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa sakit kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas panggung. Merdeka..!! Merdeka..!! Merdeka..!! pekikku setengah hati. Aku tak peduli lagi bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.
" Hallo ibu-ibu, Saudara-saudaraku sekalian, dimana para suami ?? Mengapa mereka tak ikut hadir bersama kalian di sini ?? " teriakku lantang meski aku sendiri tak tahu ke mana arah pertanyaan itu. " Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut kesini kami semua tidak bisa makan !!?"
Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus kesawah ladang untuk sekedar sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku harus berdiri di sini dengan berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tanpa tujuan, karena tiba-tiba para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa mereka lebih tinggi dibangingkan dengan aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri setiap orang, terutama Bendahara Partai.
Sesampainya di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin. Kini hampir setiap sore usai melaksanakan tugas dari kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke toko sepatu atau ke mall-mall sekedar mencari sepatu yang persis sama seperti yang pernah di kirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku menemukan sepatu seperti apa yang ku harapkan.
" Saya kira itu model special editon, edisi spesial pak, " sahut salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar putus asa.
Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekakngku si suatu tempat tanpa pernah memberiku ruang gerak sedikitpun. Ia telah memenjarakanku dengan tampilannya yang trende tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap kali menyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.
Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku, barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus kebebasanku kembali. ***
" Sesuatu yang elok itu memang bisa membuat mata kita selalu menjadi berseri-seri setiap kali melihat sesuatu yang mewah, akan tetapi kemewahan itu hanyalah bersifat sementara. Meskipun itu bisa menjadikan kita semakin tinggi hati tapi kemewahan akan membuat kita seperti budak "
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!