WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

Rinduku Untuk Bapak

| Kamis, 19 Agustus 2010 | 0 komentar |
Ku buka pintu rumah kontrakanku yang terletak di lantai dua sebuah mini flat. Aku langsung masuk ke kamar, masih dengan mengenakan baju kerjaku, aku langsung merebahkan tubuhku yang kelelahan diatas tempat tidur. Ku hirup nafas dalam dalam, entah mengapa aku merasa capek sekali padahal rencanaku untuk hang-out bersama teman-teman kerjaku batal.

Rini, salah satu temanku yang merencanakan acara ini tiba-tiba di jemput ayahnya di kantor dan dimarahi dihadapan kami, karena ia sering pulang terlambat sehabis jam kantor. Karena tak enak hati akhirnya kami membatalkan rencana kami dan segera pulang. Kasihan Rini, usianya sudah hampir 25 tahun tapi ayahnya masih memperlakukan dia seperti remaja yang baru puber.

Saat sedang mencoba mengambil agenda di meja kerja disamping tempat tidurku, tak sengaja aku menjatuhkan sesuatu. Ku angkat bangun tubuhku dan meraih benda itu yang ternyata sebuah foto keluargaku, tapi kaca bingkainya pecah. Ku amati satu persatu wajah didalam foto itu, sebuah foto kecil melayang keluar dari sisi bingkai yang kendor, itu foto Bapak, fotonya sengaja aku tempel diantara fotoku, kakakku dan ibuku. Aku tak pernah memiliki foto keluarga utuh dengan foto bapak didalamnya, bapak dan ibu berpisah sejak aku masih kelas 1 SD dan beliau pulang keharibaan-Nya dua tahun lalu.

Ku pandangi lekat lekat foto itu, tak terasa air mataku menetes. Bapak, aku kangen. Aku dikejutkan oleh bunyi ponselku yang berdering.“Halo, kenapa Din” tanyaku pada temanku Dina diseberang telpon.“Ly, gawat ly” Dina cemas“Apanya yang gawat Din?” aku jadi ikut khawatir“Boni kecelakaan!! Lo buruan ya Ly kesini” Dina langsung mematikan teleponnya.

Aku merasa gamang dan bingung. Aku segera mengambil tasku dan belari keluar rumah, karena tergesa-gesa menuruni tangga, aku terpeleset, kepalaku membentur anak tangga, lalu semuanya menjadi gelap.***Terdengar suara ketukan pintu dari kejauhan, ku buka mataku, kepalaku terasa sakit dan pusing sekali. “Ahh… ya, semalam sepertinya aku membentur sesuatu”. Dengan setengah hati kulangkahkan kaki kearah pintu.

Nampaknya diluar hujan, samar kudengar suara gemuruhnya meskipun sepertinya aku belum sepenuhnya sadar dari tidurku. Suara ketukan pintu semakin keras dan tampak tak sabar, ku percepat langkahku dan ku buka pintu.“Ya ampun buka pintu lama banget sih, pasti kamu baru bangun! Anak perempuan jam segini baru bangun!!” bagai petir berdentum di kepalaku, aku tak percaya.“Bapak?” ucapku pelan dan heran, pria itu berjalan masuk melewatiku sambil terus mengomel.

Aku terpaku didepan pintu. “Ly, kamu ngapain disitu? Bapak dateng bukannya bikinin kopi, malah bengong, jan anak jaman sekarang” omelnya sambil membuka jaket hitamnya yang kebasahan kena hujan. Aku pergi ke dapur dan membuatkannya secangkir kopi hitam dengan sedikit gula kegemarannya. Mataku terus mengawasi bapak yang sedang duduk hanya mengenakan singlet putih didepan tv sambil menyalakan sebatang rokok kretek dan menyalakan radio disamping kursi tempat ia duduk dan mencari saluran yang menyajikan tembang jawa.

Ku letakkan kopi buatan ku di meja dihadapannya, diambilnya kopi itu dan diseruputnya sedikit kemudian diletakkan lagi. “Itu Bapak bawain sayuran, kamu masak sana. Bapak laper nih belom sarapan” pintanya sambil terus menyesap rokok kreteknya. Dengan patuh aku ambil kantong berisi sayuran yang dibawanya dan ku masak. Sambil memasak aku tak henti berpikir, apa aku sedang bermimpi atau inilah kenyataannya. Aku membuat perkedel kentang dan sayur sop baso, aku mengajaknya makan.

Dengan lahap Ia menyantap masakanku, ku pandangi bapak dihadapanku, apa ini de ja vu? Atau mimpi?. Sejak aku memutuskan untuk tinggal sendiri di Jakarta, bapak memang beberapa kali mengunjungiku seperti sekarang ini, sekedar mampir dan memberikan barang, tidak jarang juga menginap beberapa hari atau hanya beberapa jam saja setelah bertengkar denganku. “Kamu ndak makan de? Lagi diet? Gak usah neko neko, pake diet segala, ayo to makan!” tegurannya membuatku sadar. “de”…. Aaah.. aku rindu panggilan itu, hanya bapak dalam keluargaku yang memanggilku “de”.

Ku santap makananku dengan tenang, sudah kuputuskan tidak peduli apakah ini nyata, de ja vu atau hanya mimpi, akan kunikmati. Selesai makan Ia kembali menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya lagi, kemudian ia terbatuk. Ku ambil rokok dari tangannya dan mematikannya diasbak, ia mendesah panjang. “Kurangin ngerokoknya pak. Lily kan udah sering bilang gak baik, napas bapak aja udah kayak gitu” nasihatku sambil memijiti pundaknya. Ku lihat rambutnya yang mulai memutih, yang biasanya sewaktu aku kecil aku akan menyabuti ubannya lalu memijitinya setelah itu aku akan memintanya membelikanku es krim sebagai upah.

Badannya sudah tak sekokoh dulu, ia hidup bersama temannya disebuah rumah sekaligus bengkel. Ia nampak tak terurus, kesalahannya dimasa lalu menyebabkan keluarga kami terpisah. Di usiannya yang tak lagi muda, ia hidup jauh dari anak-anaknya. Hal itu membuatku sedih, namun tak pernah kuperlihatkan padanya.“Gimana kabar Ibumu sama Masmu di Surabaya?”bapak memulai.“Ibu sama mas Dewa baik” jawabku singkat“Uhh, ini mambu apa ly?” tanyanya sambil mengernyitkan kening.“Bau? Bau apa?”aku mengendus endus sekitarku.“Emm.. kamu belom mandi ya?” tanyanya, aku langsung mengedus ke badanku. Memang aku belum mandi tapi nggak bau bau amat ah. “Mandi dulu sana, anak perempuan kok jorok”usirnya.

Dengan senyam senyum aku segera mandi. Setelah selesai, kulihat Bapak sudah memakai kemeja dan jaketnya kembali.“Lho? Bapak udah mau pulang? Kan masih hujan, nggak nginep aja?” tanyaku sedih“ Ndak, hujanya udah berenti kok, lagian Bapak cuma mau ajak kamu keluar”“Keluar? Ngapain?” aku heran“ Ya jalan-jalan aja, biar kamu ada kegiatan. Jangan tidur aja dirumah” jawabnya sambil melanggang keluar, dengan bingung aku mengikutinya dari belakang. Diperjalanan Bapak banyak bertanya tentang perubahan disekitar lingkungan rumah kontrakanku. Di dekat rumahku ada sebuah tempat bermain di samping sekolah dasar, pada siang hari jam pulang sekolah tempat itu biasanya ramai oleh anak-anak dan pedagang.

Tapi hari ini hari minggu, dan tempat itu tampak sepi.“Tunggu sebentar disini” pintanya dan meninggalkanku, tak lama kemudian Ia kembali. “Ini, upah mijitin Bapak tadi” Bapak menyodorkan sebuah es krim coklat kesukaanku. Aku menerimanya dengan perasaan terharu, tanpa ragu ku nikmati eskrim itu sambil duduk disalah satu kursi panjang di taman bermain.“De” panggilnya, aku menengok sambil terus menikmati eskrimku. “Cepet abisin” lanjutnya. Aku pun tersenyum dan segera menghabiskannya. Ia membelai kepalaku, sesaat semilir angin sejuk memenuhi hatiku. “Maafin Bapak ya de” lirihnya, ku tatap wajahnya yang berubah sendu “Maafin apa sih Pak? Bapak nggak salah kok” jawabku sambil berusaha tersenyum. “Maafin bapak nggak bisa hadir waktu wisuda kamu” ucapnya pelan sambil tertunduk, dengan haru ku genggam tangannya. “Gak apa apa kok”. “Maafin bapak gak ikut nyaksiin saat kamu jadi wisudawan terbaik, maaf bapak nggak pernah ada di saat kamu butuh” ucapnya bergetar, ku lihat setitik air mata jatuh dipipinya yang mulai berkerut.

Aku tak dapat membendung air mataku, tak kusangka bapak akan berkata seperti ini. Sejak berpisah dengan ibuku dulu, aku memang tak sering berjumpa dengannya, setahun hanya dua sampai tiga kali. Tidak seperti anak gadis lain yang akan ditunggu didepan rumah oleh ayah mereka saat mereka pulang larut atau di jemput ke sekolah jika pulang terlambat. Aku terbiasa hidup mengandalkan diriku sendiri, disaat aku takut pulang malam, aku akan berusaha memberanikan diriku. Bahkan foto bersama bapakpun aku tidak pernah sama sekali.“Lily ngerti kok” aku tak dapat berucap lagi, hanya air mataku yang deras keluar. Ia segera menghapus air matanya.“Oh ia Bapak punya sesuatu” sambil merogoh kedalam jaketnya, aku pun melepaskan pelukanku.

Ia mengeluarkan setangkai bunga lili yang cantik namun sedikit rusak karena disimpan didalam jaket.“Selamat ulang tahun ya de” tulusnya sambil memberikan bunga lili itu padaku. Aku tertegun “ulang tahun? Memangnya hari ini ulang tahunku ya?” pikirku, ku keluarkan ponselku dan melihat tanggalnya 11 September! Benar hari ini ulang tahunku.“Ya ampun, kamu ini masa ulang tahun sendiri ndak inget” sindir Bapak. Aku tersenyum manja, ku ambil bunga lili dari tangannya dan ku peluk Ia erat. Hangat, sungguh hangat, nyaman dan menenangkan berada di pelukan bapak. Ku pejamkan mataku.***“Lily… ly… bangun ly” seseorang menggoyangkan pundakku.

Ku coba membuka mataku yang terasa lengket. Kepalaku terasa pusing, samar ku lihat Dina dihadapanku, lalu menjadi ramai, ku lihat Boni, Rini dan Nuke mengelilingiku.“Lily, maafin kita ya. Sebenernya semalem kita berencana mau bikin kejutan setelah ngerjain lo, tapi lo malah jatuh dari tangga, sorry banget” Dina menjelaskan apa yang terjadi.“Happy Birthday Lily!!!” seru mereka bersamaan sambil memegang sebuah kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka 23, aku masih tertegun. “Jatuh dari tangga??”. Aah.. aku dapat mengingat semuanya. Ku lihat Boni yang katanya kecelakaan tampak sehat dihadapanku. Kalau begitu, dimana Bapak??. Aku celingak celinguk, membuat teman temanku bingung. Aku terhenti melihat bingkai foto yang semalam retak setelah ku jatuhkan tampak rapi seperti semula dan di sampingnya tergeletak setangkai bunga lili. Ku ambil bunga itu dan ku cium. “Terima kasih Bapak”.***

"hampir, hampir dan hampir mirip cuma ngak semirip apa yg uda gw cerita'in d'sni karena ne crita cuma hayalan belaka.. tpi maksut'y hampir mirip hehehe... ok guys.. jgn sia² hidup kalian berbaktilah pada kedua ortu kalian".
READ MORE - Rinduku Untuk Bapak

Rumah Angker

| | 0 komentar |
Pagi ini cerah. Udara masih sejuk karena kendaraan bermesin belum ramai. Suasana perumahan masih sepi. Jam rumah Nimo menunjukkan pukul 06.00 pagi. Nimo masih dibalik selimut menikmati mimpinya semalam. Tapi tak lama, mama Nimo membuka selimutnya lalu membangunkan Nimo. Nimo si pemalas, dan penakut, belum juga terbangun dari tidurnya.

“Nimo bangun nak,! Nanti kamu terlambat ke sekolah,”ujar mama Nimo sambil membereskan benda-benda yang berserakan di kamar Nimo.

“Iya ma, bentar lagi,”balas Nimo kembali menutup selimutnya.

“Nimoooo,”kata mamanya membuka selimutnya lagi. Wajah Nimo tampak lugu saat tidur membuat mamanya iba untuk membangunkannya, tapi Nimo harus tetap sekolah.”Ayo bangun, nanti kalau teman-temanmu datang, bagaimana?”tanya mama Nimo.

Nimo mulai membuka matanya perlahan setelah ia ingat, pagi ini teman-temannya akan pergi bareng naik sepeda. Nimo mulai masuk kamar mandi. Mama Nimo langsung membereskan tempat tidur anaknya, dan kembali ke dapur.

“Nimoooooo,”teriak Jevelin dari luar pagar rumahnya.

Nimo yang sedang sarapan, segera menghampiri teman-temannya yang sudah menunggunya.

“Masuk dulu.”kata Nimo membukakan pagar rumahnya.

“Cepat ya mo, nanti bisa terlambat.”ujar Mona.
“Iya tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”kata Nimo masuk ke rumahnya kembali.
----------------------
“Baiklah, ayo!”ajak Nimo yang sudah siap dengan sepedanya.

“Oke.”jawab Farhan, Jevelin, dan Mona serentak.

Mereka menyuri pasar, sawah, dan jalan raya untuk sampai ke sekolahnya. Mungkin dengan naik sepeda, bisa menghabiskan waktu kurang lebih selama 10 atau 15 menit. Sekolah mereka tidak terlalu jauh.

---------------------

“Kita parkir di sini aja ya,”kata Mona meletakkan sepedanya di bawah pohon rindang.

“Kalian yakin, di sini aman?”tanya Nimo khawatir.

“Mungkin. Dikunci ganda saja.”usul Farhan.
Akhirnya, mereka meninggalkan sepedanya masing-masing, lalu menuju kelas. Nimo masih melirik sepedanya, karena masih khawatir akan hilang. Ia baru pertama kali memakai sepeda ke sekolah. Farhan mencoba menenangkan Nimo agar tidak khawatir.

--------------------

“Tuh kan aman ?”tanya Farhan pada Nimo.

“Iya,”jawab Nimo cuek.

“Eh, kita jalan-jalan dulu yuk,”usul Mona sambil membuka kunci sepedanya.

“Tapi, udah mendung nih,”keluh Nimo memandang langit yang diselimuti awan abu.

“Ayolah, nggak akan lama-lama ko,”bujuk Farhan.

Akhirnya semuanya setuju. Mereka menggiring sepeda, lalu menggiringnya hingga gerbang sekolah, lalu menaikinya. Semuanya tampak senang, walaupun cuaca tidak mendukung dan bersahabat. Akhirnya, mereka tiba di sebuah taman.

“Aku beli makanan dulu yaa,”kata Mona menitipkan sepedanya pada Jevelin.
Setelah Mona membeli beberapa cemilan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, saat mereka baru saja akan menikmati berperahu di atas danau. Akhirnya, mereka segera menggiring sepeda dan berteduh di bawah sebuah pohon rindang.

“Liat Mon!! Gara-gara kamu nih,”ucap Nimo dengan kesal.

“Heh, jangan tiba-tiba salahin aku dong, aku kan nggak maksa,”balas Mona dengan nada kesal.

“Dari pada berantem, kita cari tempat berteduh yang lain aja yuk, hujannya makin deras nih,”ajak Jevelin mulai menggiring sepedanya sambil menutupi kepalanya dengan jaketnya.

Akhirnya mereka mencari sebuah pondok atau rumah untuk tempat berteduh. Karena sepertinya, kali ini adalah hujan lebat. Petir besar menyambar beberapa kali, air yang turun juga semakin deras. Kendaraan yang lewat beberapa kali menyembur baju mereka hingga kotor. Tak lama, mereka berhenti di depan sebuah rumah yang kaca jendela dan pintunya dipenuhi tumbuhan yang merambat panjang kemana-mana. Mereka yakin rumah ini kosong.

“Yakin?”tanya Jevelin memandang rumah tersebut dengan rasa tegang.

“Dari pada nggak ada lagi tempat.”kata Farhan mencoba mendekati rumah tersebut.

Nimo yang penakut, berusaha menutupi ketakutannya dengan mengikuti Farhan masuk juga. Kaki dan tangannya bergetar dan dingin. Mereka berempat menyenderkan sepedanya di tembok rumah tersebut. Lalu, mulai berjalan dan membuka pintu rumah tersebut.

“Halo,”ucap Farhan dengan hati-hati.

Tak ada jawaban sama sekali. Hanya suara air hujan yang membasahi genting dan hantaran petir.

“Halo, selamat sore,”sapa Mona mencoba masuk ke ruangan terlebih dahulu. Diikuti Farhan, Nimo, dan terakhir Jevelin.

Karena tak ada jawaban, mereka menyusuri ruang tamu yang tampak lusuh dan kotor. Banyak kecoak dan tikus berkeliaran, membuat Jevelin menjerit beberapa kali. Nimo yang sangat tegang, mulai berkeringat dingin.

“Kayaknya rumah ini udah lama kosong deh,”kata Nimo melihat ke kursi-kursi yang reyot dan rapuh.

“Benar katamu mo,”jawab Mona melihat ke sebuah pintu.

“Apa kalian yakin untuk berteduh di sini?”ucap Jevelin menyingkirkan gumpalan debu yang melekat di rambutnya.

“Dari pada nggak ada,”jawab Farhan yang sedang memperhatikan sebuah album foto yang usang.”Kamu liat kan, hujannya lebat!”.

Nimo memandang album tersebut dan melihat bacaan yang terselip di bagian bawah album. Ia menghapus debu yang menutupinya. Ia membaca sebuah tulisan “Welly Family”. Tulisan tersebut berwarna merah dan masih basah. Nimo curiga ini adalah darah.

“Hmmm, apa ini?”tanya Nimo melirik teman-temannya sambil memperlihatkan tinta merah yang memberntuk bacaan tersebut.

Mona dan Farhan mendekati Nimo, sedangkan Jevelin tampak ketakutan.

“Welly Family?”tanya Mona sambil menyolek tinta merahnya.”Ini darah.”ujarnya lagi.

Nimo mencoba membuka album tersebut. Rasa takutnya seakan tiba-tiba hilang. Banyak gambar sebuah keluarga yang sedang berlibur. Sebagian gambarnya, mulai hilang karena tertetesi air hujan dan lapuk. Tapi, masih banyak juga gambar yang bisa terlihat jelas.

“Pasti keluarga ini yang tinggal di sini,”ujar Farhan memperhatikan gambar saat keluarga itu di pantai.

“Aku bisa pastikan iya seratus persen,”balas Mona.”Mungkin, mereka sudah pergi beberapa tahun yang lalu,”sambungnya.

“Ini suaminya.”kata Nimo menunjuk wajah seorang bapak-bapak berkumis tipis yang dalam foto itu memakai kaos oblong.

“Wah, asyik ya kayaknya,”ujar Jevelin santai seakan ketakutannya mulai hilang.”Tapi sayangnya, semua gambarnya mulai hilang,”lanjutnya.

“Fotonya lumayan banyak dan unik.”kata Mona.”Keluarga ini terdiri dari ayah,ibu,dan 2 orang anak.”

“Iya, mereka keluarga yang bahagia,”kata Nimo.”Tapi, kenapa mereka pergi meninggalkan album ini ya?”.

“Entahlah.”kata Farhan.

“Em, kayaknya kita harus berteduh dulu di sini sampai besok pagi,”usul Farhan melihat sebuah kursi sofa kuning panjang yang mulai lapuk, tapi sepertinya masih bisa dipakai untuk duduk atau tidur.”Kita kasih tahu orangtua masing-masing aja, tapi cari alesan.”lanjut Farhan menyengir.

Semuanya mengangguk setuju. Nimo dan Jevelin yang semula ketakutan, tiba-tiba santai dan biasa saja. Malah, mereka berkeliling sekitar ruangan tersebut, melihat banyak lukisan dan foto yang digantung di dinding, yang sudah sangat keropos. Sementara Farhan dan Mona mencoba masuk ke ruangan lain, dengan menggunakan senter handphone masing-masing, karena tidak ada satupun lampu yang menyala.

“Mungkin mereka suka pantai,”kata Nimo melihat lukisan pantai yang tergantung. Jevelin menghampiri Nimo.

“Iya mo,”jawab Jevelin menepuk bahu Nimo dengan pelan.”Kita susul Farhan sama Mona aja deh, di sini rada serem,”sambungnya menarik tangan Nimo.

Farhan dan Mona masuk ke ruangan keluarga. Di sana terdapat TV, Kulkas, beberapa kursi kecil, karpet, dan lukisan, serta masih banyak lagi. Tapi lagi lagi, semuanya tampak jelek dan kusam. Misalnya saja TV yang kacanya sudah retak, Lemari kayu yang mulai reyot, dan lainnya.

“Mungkin mereka pergi belum lama,”ucap Farhan mendekatkan senternya ke kaca lemari kayu yang isinya kotak musik yang masih tampak bagus.”Iya kan Mon?”.

“Iya mungkin,”balas Mona mendekatkan senternya ke arah sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat pistol dan dua bilah pisau yang tampak mengkilat.

Tak lama, datang Nimo dan Jevelin yang langsung mengamati benda-benda di ruangan itu.

“Ini ruang apa?”tanya Jevelin.

“Aku yakin ini ruang keluarga,”jawab Nimo mendekat ke arah Mona yang tampak serius mengamati pistol dan dua bilah pisau tadi.

“Ada apa Mon?”tanya Nimo mendekatkan senternya ke arah meja. Farhan dan Jevelin menghampiri mereka berdua.

“Kenapa pistol dan pisau ini nggak karatan atau rusak ya?”tanya Mona.

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bernyanyi kecil yang tampak menghampiri mereka. Sepertinya ia seorang ibu rumah tangga yang ada di dalam album foto tadi. Ia mengenakan celemek dan topi koki yang sepertinya telah memasak sambil membawa sebuah lilin. Sontak saja mereka semua terkejut, karena kondisi rumah yang tidak memungkinkan dihuni orang lagi.

“Selamat datang kalian semua,”ujar wanita itu ramah.”Pistol dan pisau itu adalah benda yang special bagiku,.”

Wajahnya tampak anggun, namun Nampak kelelahan.

Hujan mulai reda. Tapi, jam 11.00 malam tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Dan mereka juga sudah terlanjur memberitahu orang tua mereka untuk pulang besok pagi, dan semuanya setuju.

“Aku kembali ke dapur dulu,”kata wanita itu.”Oh iya, tapi kalau kalian lapar, kalian bisa mengambil cemilan di dapur, dan kalau kalian ingin selimut atau kasur lipat untuk tidur malam ini, ambilah di kamar anakku. Ia sedang tidak ada di rumah. Dan ingat jangan pernah cari aku! Jangan pernah cari aku!!”katanya seraya melangkahkan kaki ke dapur.

“Anakmu sedang kemana?”tanya Nimo setengah bergetar.

“Kau tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu”balas wanita itu tanpa memalingkan wajah.

Mereka diam sejenak. Lalu, Farhan dan Nimo keluar untuk memastikan sepeda mereka aman. Setelah itu kembali ke ruang keluarga.

“Laper nih,”kata Jevelin memegangi perutnya.”Cacing udah pada ribut pengen makan.

“Iya udah, kita ke dapur aja,”ajak Mona.

Semuanya menuju dapur dengan hati-hati agar tidak tersandung apapun. Air hujan menyerap ke dinding membuat dinding yang semula berwarna putih, berubah menjadi hijau seperti lumut. Jevelin merasa geli.
Selesai membawa cemilan, akhirnya mereka tertidur pulas hingga besok pagi.

Keesokan paginya…..

Rumah ini tampak lebih terang dari malam kemarin. Sinar matahari masuk mengeringkan dinding-dinding. Tanpa pikir panjang, mereka segera membereskan peralatan tidur. Sebelum keluar, mereka ingin melihat kembali album foto yang kemarin malam mereka lihat.

“Loh, kemana ya albumnya?”tanya Nimo.

“Emang nggak ada mo?”tanya Farhan menyimpan selimut di atas sofa.

“Nggak ada loh,”balas Nimo.

“Iya biarlah, ayo pulang!!!”kata Jevelin dari luar.

Akhirnya mereka semua keluar dan mempersiapkan sepedanya agar tidak rusak di perjalanan. Tapi, mereka teringat belum sempat mengucapkan terima kasih pada wanita tadi.

“Kemana ya wanita yang kemarin?”tanya Nimo.”Kita belum bilang makasih sama dia.”

“Mungkin dia pergi ke pasar atau kemana,”jawab Mona santai.”Lagipula, kemarin dia bilang, supaya kita tidak mencarinya. Ayo pulang!!!”

Semuanya sudah siap dengan sepedanya dan mulai keluar dari pagar tanpa menutupnya kembali. Belum jauh mereka mengayuh sepeda, tiba-tiba seorang ibu menghampiri mereka.

“Apa yang kalian lakukan di dalam?”tanya ibu yang memakai pakaian daster dengan membawa dua kantong kresek hitam di tangannya.

“Kita menginap bu,”jawab Farhan.”Kenapa wajah ibu tampak ketakutan?”.

“Kalian ada-ada saja, rumah itu kan anker.”kata si ibu.”Rumah itu sudah lama ditinggalkan.”

Perkataan si ibu membuat mereka penasaran. Akhirnya, mereka duduk di trotoar, menunda perjalanan pulangnya, dan meminta si ibu untuk bercerita lebih panjang.

“Bolehkah kami mendengar ceritanya?”ujar Nimo.

“Boleh.”kata si ibu.”Setahuku, rumah itu sudah tidak berpenghuni sejak 10 tahun yang lalu, tak ada orang yang berani masuk ke sana,”kata si ibu sambil berpikir sejenak.”Ibu tidak tahu kejadian aslinya, karena ibu baru tinggal di sini, tapi menurut para tetangganya, saat mereka pergi liburan ke pantai dan akan kembali ke rumah, terjadi perampokan besar yang mengakibatkan ayah dan dua anaknya tewas. Sedangkan ibu mereka tidak terbunuh.”

“Di sana ada sebuah album,”kata Mona.”Di luar album ada tulisan “Welly Family” tapi dengan menggunakan tinta merah serupa darah.”

“Oh album itu,”balas si ibu.”Mereka sangat favorit berfoto setiap kali pergi liburan. Dan mereka mengumpulkannya dalam album. Eh, ibu lanjutkan dulu yang tadi ya,”kata si ibu. Semuanya hanya mengangguk.”Tapi ibu mereka tidak pergi keluar rumah lagi sejak peristiwa itu, katanya sih, dia bunuh diri dengan menggunakan satu pistol dan dua bilah pisau.”

“Nah loh, jadi yang kemarin itu siapa?”tanya Nimo.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Teriak mereka sambil menggiring sepedanya dan pulang.
READ MORE - Rumah Angker

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu