Pagi ini cerah. Udara masih sejuk karena kendaraan bermesin belum ramai. Suasana perumahan masih sepi. Jam rumah Nimo menunjukkan pukul 06.00 pagi. Nimo masih dibalik selimut menikmati mimpinya semalam. Tapi tak lama, mama Nimo membuka selimutnya lalu membangunkan Nimo. Nimo si pemalas, dan penakut, belum juga terbangun dari tidurnya.
“Nimo bangun nak,! Nanti kamu terlambat ke sekolah,”ujar mama Nimo sambil membereskan benda-benda yang berserakan di kamar Nimo.
“Iya ma, bentar lagi,”balas Nimo kembali menutup selimutnya.
“Nimoooo,”kata mamanya membuka selimutnya lagi. Wajah Nimo tampak lugu saat tidur membuat mamanya iba untuk membangunkannya, tapi Nimo harus tetap sekolah.”Ayo bangun, nanti kalau teman-temanmu datang, bagaimana?”tanya mama Nimo.
Nimo mulai membuka matanya perlahan setelah ia ingat, pagi ini teman-temannya akan pergi bareng naik sepeda. Nimo mulai masuk kamar mandi. Mama Nimo langsung membereskan tempat tidur anaknya, dan kembali ke dapur.
“Nimoooooo,”teriak Jevelin dari luar pagar rumahnya.
Nimo yang sedang sarapan, segera menghampiri teman-temannya yang sudah menunggunya.
“Masuk dulu.”kata Nimo membukakan pagar rumahnya.
“Cepat ya mo, nanti bisa terlambat.”ujar Mona.
“Iya tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”kata Nimo masuk ke rumahnya kembali.
----------------------
“Baiklah, ayo!”ajak Nimo yang sudah siap dengan sepedanya.
“Oke.”jawab Farhan, Jevelin, dan Mona serentak.
Mereka menyuri pasar, sawah, dan jalan raya untuk sampai ke sekolahnya. Mungkin dengan naik sepeda, bisa menghabiskan waktu kurang lebih selama 10 atau 15 menit. Sekolah mereka tidak terlalu jauh.
---------------------
“Kita parkir di sini aja ya,”kata Mona meletakkan sepedanya di bawah pohon rindang.
“Kalian yakin, di sini aman?”tanya Nimo khawatir.
“Mungkin. Dikunci ganda saja.”usul Farhan.
Akhirnya, mereka meninggalkan sepedanya masing-masing, lalu menuju kelas. Nimo masih melirik sepedanya, karena masih khawatir akan hilang. Ia baru pertama kali memakai sepeda ke sekolah. Farhan mencoba menenangkan Nimo agar tidak khawatir.
--------------------
“Tuh kan aman ?”tanya Farhan pada Nimo.
“Iya,”jawab Nimo cuek.
“Eh, kita jalan-jalan dulu yuk,”usul Mona sambil membuka kunci sepedanya.
“Tapi, udah mendung nih,”keluh Nimo memandang langit yang diselimuti awan abu.
“Ayolah, nggak akan lama-lama ko,”bujuk Farhan.
Akhirnya semuanya setuju. Mereka menggiring sepeda, lalu menggiringnya hingga gerbang sekolah, lalu menaikinya. Semuanya tampak senang, walaupun cuaca tidak mendukung dan bersahabat. Akhirnya, mereka tiba di sebuah taman.
“Aku beli makanan dulu yaa,”kata Mona menitipkan sepedanya pada Jevelin.
Setelah Mona membeli beberapa cemilan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, saat mereka baru saja akan menikmati berperahu di atas danau. Akhirnya, mereka segera menggiring sepeda dan berteduh di bawah sebuah pohon rindang.
“Liat Mon!! Gara-gara kamu nih,”ucap Nimo dengan kesal.
“Heh, jangan tiba-tiba salahin aku dong, aku kan nggak maksa,”balas Mona dengan nada kesal.
“Dari pada berantem, kita cari tempat berteduh yang lain aja yuk, hujannya makin deras nih,”ajak Jevelin mulai menggiring sepedanya sambil menutupi kepalanya dengan jaketnya.
Akhirnya mereka mencari sebuah pondok atau rumah untuk tempat berteduh. Karena sepertinya, kali ini adalah hujan lebat. Petir besar menyambar beberapa kali, air yang turun juga semakin deras. Kendaraan yang lewat beberapa kali menyembur baju mereka hingga kotor. Tak lama, mereka berhenti di depan sebuah rumah yang kaca jendela dan pintunya dipenuhi tumbuhan yang merambat panjang kemana-mana. Mereka yakin rumah ini kosong.
“Yakin?”tanya Jevelin memandang rumah tersebut dengan rasa tegang.
“Dari pada nggak ada lagi tempat.”kata Farhan mencoba mendekati rumah tersebut.
Nimo yang penakut, berusaha menutupi ketakutannya dengan mengikuti Farhan masuk juga. Kaki dan tangannya bergetar dan dingin. Mereka berempat menyenderkan sepedanya di tembok rumah tersebut. Lalu, mulai berjalan dan membuka pintu rumah tersebut.
“Halo,”ucap Farhan dengan hati-hati.
Tak ada jawaban sama sekali. Hanya suara air hujan yang membasahi genting dan hantaran petir.
“Halo, selamat sore,”sapa Mona mencoba masuk ke ruangan terlebih dahulu. Diikuti Farhan, Nimo, dan terakhir Jevelin.
Karena tak ada jawaban, mereka menyusuri ruang tamu yang tampak lusuh dan kotor. Banyak kecoak dan tikus berkeliaran, membuat Jevelin menjerit beberapa kali. Nimo yang sangat tegang, mulai berkeringat dingin.
“Kayaknya rumah ini udah lama kosong deh,”kata Nimo melihat ke kursi-kursi yang reyot dan rapuh.
“Benar katamu mo,”jawab Mona melihat ke sebuah pintu.
“Apa kalian yakin untuk berteduh di sini?”ucap Jevelin menyingkirkan gumpalan debu yang melekat di rambutnya.
“Dari pada nggak ada,”jawab Farhan yang sedang memperhatikan sebuah album foto yang usang.”Kamu liat kan, hujannya lebat!”.
Nimo memandang album tersebut dan melihat bacaan yang terselip di bagian bawah album. Ia menghapus debu yang menutupinya. Ia membaca sebuah tulisan “Welly Family”. Tulisan tersebut berwarna merah dan masih basah. Nimo curiga ini adalah darah.
“Hmmm, apa ini?”tanya Nimo melirik teman-temannya sambil memperlihatkan tinta merah yang memberntuk bacaan tersebut.
Mona dan Farhan mendekati Nimo, sedangkan Jevelin tampak ketakutan.
“Welly Family?”tanya Mona sambil menyolek tinta merahnya.”Ini darah.”ujarnya lagi.
Nimo mencoba membuka album tersebut. Rasa takutnya seakan tiba-tiba hilang. Banyak gambar sebuah keluarga yang sedang berlibur. Sebagian gambarnya, mulai hilang karena tertetesi air hujan dan lapuk. Tapi, masih banyak juga gambar yang bisa terlihat jelas.
“Pasti keluarga ini yang tinggal di sini,”ujar Farhan memperhatikan gambar saat keluarga itu di pantai.
“Aku bisa pastikan iya seratus persen,”balas Mona.”Mungkin, mereka sudah pergi beberapa tahun yang lalu,”sambungnya.
“Ini suaminya.”kata Nimo menunjuk wajah seorang bapak-bapak berkumis tipis yang dalam foto itu memakai kaos oblong.
“Wah, asyik ya kayaknya,”ujar Jevelin santai seakan ketakutannya mulai hilang.”Tapi sayangnya, semua gambarnya mulai hilang,”lanjutnya.
“Fotonya lumayan banyak dan unik.”kata Mona.”Keluarga ini terdiri dari ayah,ibu,dan 2 orang anak.”
“Iya, mereka keluarga yang bahagia,”kata Nimo.”Tapi, kenapa mereka pergi meninggalkan album ini ya?”.
“Entahlah.”kata Farhan.
“Em, kayaknya kita harus berteduh dulu di sini sampai besok pagi,”usul Farhan melihat sebuah kursi sofa kuning panjang yang mulai lapuk, tapi sepertinya masih bisa dipakai untuk duduk atau tidur.”Kita kasih tahu orangtua masing-masing aja, tapi cari alesan.”lanjut Farhan menyengir.
Semuanya mengangguk setuju. Nimo dan Jevelin yang semula ketakutan, tiba-tiba santai dan biasa saja. Malah, mereka berkeliling sekitar ruangan tersebut, melihat banyak lukisan dan foto yang digantung di dinding, yang sudah sangat keropos. Sementara Farhan dan Mona mencoba masuk ke ruangan lain, dengan menggunakan senter handphone masing-masing, karena tidak ada satupun lampu yang menyala.
“Mungkin mereka suka pantai,”kata Nimo melihat lukisan pantai yang tergantung. Jevelin menghampiri Nimo.
“Iya mo,”jawab Jevelin menepuk bahu Nimo dengan pelan.”Kita susul Farhan sama Mona aja deh, di sini rada serem,”sambungnya menarik tangan Nimo.
Farhan dan Mona masuk ke ruangan keluarga. Di sana terdapat TV, Kulkas, beberapa kursi kecil, karpet, dan lukisan, serta masih banyak lagi. Tapi lagi lagi, semuanya tampak jelek dan kusam. Misalnya saja TV yang kacanya sudah retak, Lemari kayu yang mulai reyot, dan lainnya.
“Mungkin mereka pergi belum lama,”ucap Farhan mendekatkan senternya ke kaca lemari kayu yang isinya kotak musik yang masih tampak bagus.”Iya kan Mon?”.
“Iya mungkin,”balas Mona mendekatkan senternya ke arah sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat pistol dan dua bilah pisau yang tampak mengkilat.
Tak lama, datang Nimo dan Jevelin yang langsung mengamati benda-benda di ruangan itu.
“Ini ruang apa?”tanya Jevelin.
“Aku yakin ini ruang keluarga,”jawab Nimo mendekat ke arah Mona yang tampak serius mengamati pistol dan dua bilah pisau tadi.
“Ada apa Mon?”tanya Nimo mendekatkan senternya ke arah meja. Farhan dan Jevelin menghampiri mereka berdua.
“Kenapa pistol dan pisau ini nggak karatan atau rusak ya?”tanya Mona.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bernyanyi kecil yang tampak menghampiri mereka. Sepertinya ia seorang ibu rumah tangga yang ada di dalam album foto tadi. Ia mengenakan celemek dan topi koki yang sepertinya telah memasak sambil membawa sebuah lilin. Sontak saja mereka semua terkejut, karena kondisi rumah yang tidak memungkinkan dihuni orang lagi.
“Selamat datang kalian semua,”ujar wanita itu ramah.”Pistol dan pisau itu adalah benda yang special bagiku,.”
Wajahnya tampak anggun, namun Nampak kelelahan.
Hujan mulai reda. Tapi, jam 11.00 malam tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Dan mereka juga sudah terlanjur memberitahu orang tua mereka untuk pulang besok pagi, dan semuanya setuju.
“Aku kembali ke dapur dulu,”kata wanita itu.”Oh iya, tapi kalau kalian lapar, kalian bisa mengambil cemilan di dapur, dan kalau kalian ingin selimut atau kasur lipat untuk tidur malam ini, ambilah di kamar anakku. Ia sedang tidak ada di rumah. Dan ingat jangan pernah cari aku! Jangan pernah cari aku!!”katanya seraya melangkahkan kaki ke dapur.
“Anakmu sedang kemana?”tanya Nimo setengah bergetar.
“Kau tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu”balas wanita itu tanpa memalingkan wajah.
Mereka diam sejenak. Lalu, Farhan dan Nimo keluar untuk memastikan sepeda mereka aman. Setelah itu kembali ke ruang keluarga.
“Laper nih,”kata Jevelin memegangi perutnya.”Cacing udah pada ribut pengen makan.
“Iya udah, kita ke dapur aja,”ajak Mona.
Semuanya menuju dapur dengan hati-hati agar tidak tersandung apapun. Air hujan menyerap ke dinding membuat dinding yang semula berwarna putih, berubah menjadi hijau seperti lumut. Jevelin merasa geli.
Selesai membawa cemilan, akhirnya mereka tertidur pulas hingga besok pagi.
Keesokan paginya…..
Rumah ini tampak lebih terang dari malam kemarin. Sinar matahari masuk mengeringkan dinding-dinding. Tanpa pikir panjang, mereka segera membereskan peralatan tidur. Sebelum keluar, mereka ingin melihat kembali album foto yang kemarin malam mereka lihat.
“Loh, kemana ya albumnya?”tanya Nimo.
“Emang nggak ada mo?”tanya Farhan menyimpan selimut di atas sofa.
“Nggak ada loh,”balas Nimo.
“Iya biarlah, ayo pulang!!!”kata Jevelin dari luar.
Akhirnya mereka semua keluar dan mempersiapkan sepedanya agar tidak rusak di perjalanan. Tapi, mereka teringat belum sempat mengucapkan terima kasih pada wanita tadi.
“Kemana ya wanita yang kemarin?”tanya Nimo.”Kita belum bilang makasih sama dia.”
“Mungkin dia pergi ke pasar atau kemana,”jawab Mona santai.”Lagipula, kemarin dia bilang, supaya kita tidak mencarinya. Ayo pulang!!!”
Semuanya sudah siap dengan sepedanya dan mulai keluar dari pagar tanpa menutupnya kembali. Belum jauh mereka mengayuh sepeda, tiba-tiba seorang ibu menghampiri mereka.
“Apa yang kalian lakukan di dalam?”tanya ibu yang memakai pakaian daster dengan membawa dua kantong kresek hitam di tangannya.
“Kita menginap bu,”jawab Farhan.”Kenapa wajah ibu tampak ketakutan?”.
“Kalian ada-ada saja, rumah itu kan anker.”kata si ibu.”Rumah itu sudah lama ditinggalkan.”
Perkataan si ibu membuat mereka penasaran. Akhirnya, mereka duduk di trotoar, menunda perjalanan pulangnya, dan meminta si ibu untuk bercerita lebih panjang.
“Bolehkah kami mendengar ceritanya?”ujar Nimo.
“Boleh.”kata si ibu.”Setahuku, rumah itu sudah tidak berpenghuni sejak 10 tahun yang lalu, tak ada orang yang berani masuk ke sana,”kata si ibu sambil berpikir sejenak.”Ibu tidak tahu kejadian aslinya, karena ibu baru tinggal di sini, tapi menurut para tetangganya, saat mereka pergi liburan ke pantai dan akan kembali ke rumah, terjadi perampokan besar yang mengakibatkan ayah dan dua anaknya tewas. Sedangkan ibu mereka tidak terbunuh.”
“Di sana ada sebuah album,”kata Mona.”Di luar album ada tulisan “Welly Family” tapi dengan menggunakan tinta merah serupa darah.”
“Oh album itu,”balas si ibu.”Mereka sangat favorit berfoto setiap kali pergi liburan. Dan mereka mengumpulkannya dalam album. Eh, ibu lanjutkan dulu yang tadi ya,”kata si ibu. Semuanya hanya mengangguk.”Tapi ibu mereka tidak pergi keluar rumah lagi sejak peristiwa itu, katanya sih, dia bunuh diri dengan menggunakan satu pistol dan dua bilah pisau.”
“Nah loh, jadi yang kemarin itu siapa?”tanya Nimo.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Teriak mereka sambil menggiring sepedanya dan pulang.
“Nimo bangun nak,! Nanti kamu terlambat ke sekolah,”ujar mama Nimo sambil membereskan benda-benda yang berserakan di kamar Nimo.
“Iya ma, bentar lagi,”balas Nimo kembali menutup selimutnya.
“Nimoooo,”kata mamanya membuka selimutnya lagi. Wajah Nimo tampak lugu saat tidur membuat mamanya iba untuk membangunkannya, tapi Nimo harus tetap sekolah.”Ayo bangun, nanti kalau teman-temanmu datang, bagaimana?”tanya mama Nimo.
Nimo mulai membuka matanya perlahan setelah ia ingat, pagi ini teman-temannya akan pergi bareng naik sepeda. Nimo mulai masuk kamar mandi. Mama Nimo langsung membereskan tempat tidur anaknya, dan kembali ke dapur.
“Nimoooooo,”teriak Jevelin dari luar pagar rumahnya.
Nimo yang sedang sarapan, segera menghampiri teman-temannya yang sudah menunggunya.
“Masuk dulu.”kata Nimo membukakan pagar rumahnya.
“Cepat ya mo, nanti bisa terlambat.”ujar Mona.
“Iya tunggu sebentar, aku ambil tas dulu.”kata Nimo masuk ke rumahnya kembali.
----------------------
“Baiklah, ayo!”ajak Nimo yang sudah siap dengan sepedanya.
“Oke.”jawab Farhan, Jevelin, dan Mona serentak.
Mereka menyuri pasar, sawah, dan jalan raya untuk sampai ke sekolahnya. Mungkin dengan naik sepeda, bisa menghabiskan waktu kurang lebih selama 10 atau 15 menit. Sekolah mereka tidak terlalu jauh.
---------------------
“Kita parkir di sini aja ya,”kata Mona meletakkan sepedanya di bawah pohon rindang.
“Kalian yakin, di sini aman?”tanya Nimo khawatir.
“Mungkin. Dikunci ganda saja.”usul Farhan.
Akhirnya, mereka meninggalkan sepedanya masing-masing, lalu menuju kelas. Nimo masih melirik sepedanya, karena masih khawatir akan hilang. Ia baru pertama kali memakai sepeda ke sekolah. Farhan mencoba menenangkan Nimo agar tidak khawatir.
--------------------
“Tuh kan aman ?”tanya Farhan pada Nimo.
“Iya,”jawab Nimo cuek.
“Eh, kita jalan-jalan dulu yuk,”usul Mona sambil membuka kunci sepedanya.
“Tapi, udah mendung nih,”keluh Nimo memandang langit yang diselimuti awan abu.
“Ayolah, nggak akan lama-lama ko,”bujuk Farhan.
Akhirnya semuanya setuju. Mereka menggiring sepeda, lalu menggiringnya hingga gerbang sekolah, lalu menaikinya. Semuanya tampak senang, walaupun cuaca tidak mendukung dan bersahabat. Akhirnya, mereka tiba di sebuah taman.
“Aku beli makanan dulu yaa,”kata Mona menitipkan sepedanya pada Jevelin.
Setelah Mona membeli beberapa cemilan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, saat mereka baru saja akan menikmati berperahu di atas danau. Akhirnya, mereka segera menggiring sepeda dan berteduh di bawah sebuah pohon rindang.
“Liat Mon!! Gara-gara kamu nih,”ucap Nimo dengan kesal.
“Heh, jangan tiba-tiba salahin aku dong, aku kan nggak maksa,”balas Mona dengan nada kesal.
“Dari pada berantem, kita cari tempat berteduh yang lain aja yuk, hujannya makin deras nih,”ajak Jevelin mulai menggiring sepedanya sambil menutupi kepalanya dengan jaketnya.
Akhirnya mereka mencari sebuah pondok atau rumah untuk tempat berteduh. Karena sepertinya, kali ini adalah hujan lebat. Petir besar menyambar beberapa kali, air yang turun juga semakin deras. Kendaraan yang lewat beberapa kali menyembur baju mereka hingga kotor. Tak lama, mereka berhenti di depan sebuah rumah yang kaca jendela dan pintunya dipenuhi tumbuhan yang merambat panjang kemana-mana. Mereka yakin rumah ini kosong.
“Yakin?”tanya Jevelin memandang rumah tersebut dengan rasa tegang.
“Dari pada nggak ada lagi tempat.”kata Farhan mencoba mendekati rumah tersebut.
Nimo yang penakut, berusaha menutupi ketakutannya dengan mengikuti Farhan masuk juga. Kaki dan tangannya bergetar dan dingin. Mereka berempat menyenderkan sepedanya di tembok rumah tersebut. Lalu, mulai berjalan dan membuka pintu rumah tersebut.
“Halo,”ucap Farhan dengan hati-hati.
Tak ada jawaban sama sekali. Hanya suara air hujan yang membasahi genting dan hantaran petir.
“Halo, selamat sore,”sapa Mona mencoba masuk ke ruangan terlebih dahulu. Diikuti Farhan, Nimo, dan terakhir Jevelin.
Karena tak ada jawaban, mereka menyusuri ruang tamu yang tampak lusuh dan kotor. Banyak kecoak dan tikus berkeliaran, membuat Jevelin menjerit beberapa kali. Nimo yang sangat tegang, mulai berkeringat dingin.
“Kayaknya rumah ini udah lama kosong deh,”kata Nimo melihat ke kursi-kursi yang reyot dan rapuh.
“Benar katamu mo,”jawab Mona melihat ke sebuah pintu.
“Apa kalian yakin untuk berteduh di sini?”ucap Jevelin menyingkirkan gumpalan debu yang melekat di rambutnya.
“Dari pada nggak ada,”jawab Farhan yang sedang memperhatikan sebuah album foto yang usang.”Kamu liat kan, hujannya lebat!”.
Nimo memandang album tersebut dan melihat bacaan yang terselip di bagian bawah album. Ia menghapus debu yang menutupinya. Ia membaca sebuah tulisan “Welly Family”. Tulisan tersebut berwarna merah dan masih basah. Nimo curiga ini adalah darah.
“Hmmm, apa ini?”tanya Nimo melirik teman-temannya sambil memperlihatkan tinta merah yang memberntuk bacaan tersebut.
Mona dan Farhan mendekati Nimo, sedangkan Jevelin tampak ketakutan.
“Welly Family?”tanya Mona sambil menyolek tinta merahnya.”Ini darah.”ujarnya lagi.
Nimo mencoba membuka album tersebut. Rasa takutnya seakan tiba-tiba hilang. Banyak gambar sebuah keluarga yang sedang berlibur. Sebagian gambarnya, mulai hilang karena tertetesi air hujan dan lapuk. Tapi, masih banyak juga gambar yang bisa terlihat jelas.
“Pasti keluarga ini yang tinggal di sini,”ujar Farhan memperhatikan gambar saat keluarga itu di pantai.
“Aku bisa pastikan iya seratus persen,”balas Mona.”Mungkin, mereka sudah pergi beberapa tahun yang lalu,”sambungnya.
“Ini suaminya.”kata Nimo menunjuk wajah seorang bapak-bapak berkumis tipis yang dalam foto itu memakai kaos oblong.
“Wah, asyik ya kayaknya,”ujar Jevelin santai seakan ketakutannya mulai hilang.”Tapi sayangnya, semua gambarnya mulai hilang,”lanjutnya.
“Fotonya lumayan banyak dan unik.”kata Mona.”Keluarga ini terdiri dari ayah,ibu,dan 2 orang anak.”
“Iya, mereka keluarga yang bahagia,”kata Nimo.”Tapi, kenapa mereka pergi meninggalkan album ini ya?”.
“Entahlah.”kata Farhan.
“Em, kayaknya kita harus berteduh dulu di sini sampai besok pagi,”usul Farhan melihat sebuah kursi sofa kuning panjang yang mulai lapuk, tapi sepertinya masih bisa dipakai untuk duduk atau tidur.”Kita kasih tahu orangtua masing-masing aja, tapi cari alesan.”lanjut Farhan menyengir.
Semuanya mengangguk setuju. Nimo dan Jevelin yang semula ketakutan, tiba-tiba santai dan biasa saja. Malah, mereka berkeliling sekitar ruangan tersebut, melihat banyak lukisan dan foto yang digantung di dinding, yang sudah sangat keropos. Sementara Farhan dan Mona mencoba masuk ke ruangan lain, dengan menggunakan senter handphone masing-masing, karena tidak ada satupun lampu yang menyala.
“Mungkin mereka suka pantai,”kata Nimo melihat lukisan pantai yang tergantung. Jevelin menghampiri Nimo.
“Iya mo,”jawab Jevelin menepuk bahu Nimo dengan pelan.”Kita susul Farhan sama Mona aja deh, di sini rada serem,”sambungnya menarik tangan Nimo.
Farhan dan Mona masuk ke ruangan keluarga. Di sana terdapat TV, Kulkas, beberapa kursi kecil, karpet, dan lukisan, serta masih banyak lagi. Tapi lagi lagi, semuanya tampak jelek dan kusam. Misalnya saja TV yang kacanya sudah retak, Lemari kayu yang mulai reyot, dan lainnya.
“Mungkin mereka pergi belum lama,”ucap Farhan mendekatkan senternya ke kaca lemari kayu yang isinya kotak musik yang masih tampak bagus.”Iya kan Mon?”.
“Iya mungkin,”balas Mona mendekatkan senternya ke arah sebuah meja kecil yang diatasnya terdapat pistol dan dua bilah pisau yang tampak mengkilat.
Tak lama, datang Nimo dan Jevelin yang langsung mengamati benda-benda di ruangan itu.
“Ini ruang apa?”tanya Jevelin.
“Aku yakin ini ruang keluarga,”jawab Nimo mendekat ke arah Mona yang tampak serius mengamati pistol dan dua bilah pisau tadi.
“Ada apa Mon?”tanya Nimo mendekatkan senternya ke arah meja. Farhan dan Jevelin menghampiri mereka berdua.
“Kenapa pistol dan pisau ini nggak karatan atau rusak ya?”tanya Mona.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bernyanyi kecil yang tampak menghampiri mereka. Sepertinya ia seorang ibu rumah tangga yang ada di dalam album foto tadi. Ia mengenakan celemek dan topi koki yang sepertinya telah memasak sambil membawa sebuah lilin. Sontak saja mereka semua terkejut, karena kondisi rumah yang tidak memungkinkan dihuni orang lagi.
“Selamat datang kalian semua,”ujar wanita itu ramah.”Pistol dan pisau itu adalah benda yang special bagiku,.”
Wajahnya tampak anggun, namun Nampak kelelahan.
Hujan mulai reda. Tapi, jam 11.00 malam tidak memungkinkan mereka untuk pulang. Dan mereka juga sudah terlanjur memberitahu orang tua mereka untuk pulang besok pagi, dan semuanya setuju.
“Aku kembali ke dapur dulu,”kata wanita itu.”Oh iya, tapi kalau kalian lapar, kalian bisa mengambil cemilan di dapur, dan kalau kalian ingin selimut atau kasur lipat untuk tidur malam ini, ambilah di kamar anakku. Ia sedang tidak ada di rumah. Dan ingat jangan pernah cari aku! Jangan pernah cari aku!!”katanya seraya melangkahkan kaki ke dapur.
“Anakmu sedang kemana?”tanya Nimo setengah bergetar.
“Kau tidak perlu tahu, itu bukan urusanmu”balas wanita itu tanpa memalingkan wajah.
Mereka diam sejenak. Lalu, Farhan dan Nimo keluar untuk memastikan sepeda mereka aman. Setelah itu kembali ke ruang keluarga.
“Laper nih,”kata Jevelin memegangi perutnya.”Cacing udah pada ribut pengen makan.
“Iya udah, kita ke dapur aja,”ajak Mona.
Semuanya menuju dapur dengan hati-hati agar tidak tersandung apapun. Air hujan menyerap ke dinding membuat dinding yang semula berwarna putih, berubah menjadi hijau seperti lumut. Jevelin merasa geli.
Selesai membawa cemilan, akhirnya mereka tertidur pulas hingga besok pagi.
Keesokan paginya…..
Rumah ini tampak lebih terang dari malam kemarin. Sinar matahari masuk mengeringkan dinding-dinding. Tanpa pikir panjang, mereka segera membereskan peralatan tidur. Sebelum keluar, mereka ingin melihat kembali album foto yang kemarin malam mereka lihat.
“Loh, kemana ya albumnya?”tanya Nimo.
“Emang nggak ada mo?”tanya Farhan menyimpan selimut di atas sofa.
“Nggak ada loh,”balas Nimo.
“Iya biarlah, ayo pulang!!!”kata Jevelin dari luar.
Akhirnya mereka semua keluar dan mempersiapkan sepedanya agar tidak rusak di perjalanan. Tapi, mereka teringat belum sempat mengucapkan terima kasih pada wanita tadi.
“Kemana ya wanita yang kemarin?”tanya Nimo.”Kita belum bilang makasih sama dia.”
“Mungkin dia pergi ke pasar atau kemana,”jawab Mona santai.”Lagipula, kemarin dia bilang, supaya kita tidak mencarinya. Ayo pulang!!!”
Semuanya sudah siap dengan sepedanya dan mulai keluar dari pagar tanpa menutupnya kembali. Belum jauh mereka mengayuh sepeda, tiba-tiba seorang ibu menghampiri mereka.
“Apa yang kalian lakukan di dalam?”tanya ibu yang memakai pakaian daster dengan membawa dua kantong kresek hitam di tangannya.
“Kita menginap bu,”jawab Farhan.”Kenapa wajah ibu tampak ketakutan?”.
“Kalian ada-ada saja, rumah itu kan anker.”kata si ibu.”Rumah itu sudah lama ditinggalkan.”
Perkataan si ibu membuat mereka penasaran. Akhirnya, mereka duduk di trotoar, menunda perjalanan pulangnya, dan meminta si ibu untuk bercerita lebih panjang.
“Bolehkah kami mendengar ceritanya?”ujar Nimo.
“Boleh.”kata si ibu.”Setahuku, rumah itu sudah tidak berpenghuni sejak 10 tahun yang lalu, tak ada orang yang berani masuk ke sana,”kata si ibu sambil berpikir sejenak.”Ibu tidak tahu kejadian aslinya, karena ibu baru tinggal di sini, tapi menurut para tetangganya, saat mereka pergi liburan ke pantai dan akan kembali ke rumah, terjadi perampokan besar yang mengakibatkan ayah dan dua anaknya tewas. Sedangkan ibu mereka tidak terbunuh.”
“Di sana ada sebuah album,”kata Mona.”Di luar album ada tulisan “Welly Family” tapi dengan menggunakan tinta merah serupa darah.”
“Oh album itu,”balas si ibu.”Mereka sangat favorit berfoto setiap kali pergi liburan. Dan mereka mengumpulkannya dalam album. Eh, ibu lanjutkan dulu yang tadi ya,”kata si ibu. Semuanya hanya mengangguk.”Tapi ibu mereka tidak pergi keluar rumah lagi sejak peristiwa itu, katanya sih, dia bunuh diri dengan menggunakan satu pistol dan dua bilah pisau.”
“Nah loh, jadi yang kemarin itu siapa?”tanya Nimo.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Teriak mereka sambil menggiring sepedanya dan pulang.
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!