WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

BIMBANG

| Kamis, 22 April 2010 | |
Bulan Ramadhan datang kembali kepadaku untuk yang kesekian kalinya seiring dengan cahaya fajar yang mengelus pagi di satu musim Sudah beberapa tahun aku tanpa istri, anak dan keluarga di Padang Besar, Malaysia.

Wilayah tepi Barat yang berbatasan dengan Sadao, Thailand. Perjalanan ke sana jika menggunakan bis dari Pudu Raya, Kuala Lumpur jaraknya hampir semalam. Masyarakatnya yang petani dan pedagang selalu mengingatkanku pada kampung halaman. Rasanya tak ada yang berubah.

Mereka ramah-ramah. Mungkin karena masih serumpun Melayu. Hanya bahasanya yang sedikit agak berbeda. Tapi itu tidak masalah. Sebab rata-rata mereka pintar berbahasa Inggris dan Mandarin. Dan aku, tentu saja banyak belajar dari mereka. Bahkan aku mengenal istilah tenggala dalam bahasa Melayu yang kalau di Jawa disebut luku juga dari mereka. Di sinilah aku berguru tentang kehidupan. Untuk masa laluluku yang super ngenes, tentunya keadaan seperti ini menjadi mahal harganya.

Menjelang berbuka puasa hari pertama matahari semakin nampak merah kekuning-kuningan dibalik punggung bukit Barat. Surau-surau mulai dipenuhi dengan cahaya. Suara orang mengaji mendayu lembut menembus kalbu. Cikgu Mahmud menyimak para pelajar menghapal surah-surah al-qur’an. Sementara yang anak-anak banyak mendalami buku iqra yang dikarang oleh KH.Asad Humam dari Yogyakarta. “Hebat juga ya orang Indonesia”, dalam hati saya dengan bangga.

Azan maghrib berkumandang dari atas Bukit yang mengingatkanku pada seorang budak berkulit hitam legam bernama Bilal. Cahaya lampu kota terpencar ke segenap sudut menandakan betapa untuk hari pertama di bulan Ramadhan ini mereka begitu semangat menahan lapar puasa.

Petang itu, dinding-dinding tiba-tiba menjadi jeruji menekan kembaraku di sudut gelap. Dan selepas sholat maghrib, aku terpasung di belakang mimbar. Tiba-tiba air mata mengalir seperti jeram. Sementara mulut selalu terucap “Reneke…,Reneke …,Reneke…, jika kamu tahu isi hatiku…” seakan bayangan istriku berkelebat, kadang mendekat dan kembali menampar wajahku. Nyaliku terus saja terjatuh digirus lumut sembilu.

“Maafkan aku sayang, jika terpaksa menghukum diri seperti ini di negeri orang. Biarlah! Anggap saja saya sudah mati” sebentuk tekad yang telah aku tanam sejak pertama kali aku memendam luka sakit hati akibat tamparan mulut Reneke. Maka ketika kakiku keluar dari Indonesia melewati

Dumai menuju Malaka gumpalan dendam terus saja membentuk bola salju dan mengkristal. Aku sadari seumur hidup memang tak pernah merasa mudah tersinggung seperti kali ini. Mungkin ini menyangkut prinsip, sehingga aku tak lagi mengenal siapa-siapa, bagiku prinsip adalah prinsip. Masa kecilku yang malu kalau digandeng orang tua di tengah keramaian, telah membentuk egoku yang luar biasa. Di sinilah aku pantang sekali dikhianati. Aku punya sejuta cinta dan semangat. Akupun siap menghadiahkan kepada siapa saja, selama itu atas nama komit. Tapi sekali ketulusan itu tak dihargai, maka kembali aku tak berhajat menggantungkan hidup pada harapan. Biarlah aku berjalan seiring dengan perjalanan alam yang tak bisa diterka.

Langit makin menghitam. Orang-orang sudah mulai menuju ke tempat peristirahatan setelah seharian dituntut oleh kerjaan. Aku masih tak mau bergeser dari tempat duduk. Dadaku makin tertikam oleh kenangan gelap Reneke. Semakin aku ingat jantung ini semakin tersayat-sayat hingga naik ke kepala. Minimal aku ingin melupakan masa lalu yang teramat getir. Lagipula, apakah orang tuamu sudah bisa menerima kehadiranku yang masih seperti ini.

Setiap hari hanya bisa memberimu makan batu dan tanah, apakah kamu dan dua anak kita dapat kenyang dengan impian ?” kenangku pada kisah tujuh tahun silam dimana aku diusir dan dicaci maki oleh Reneke dan bapaknya.

Bahkan sampai-sampai aku dipaksa untuk segera menceraikannya. Menyangkut yang satu itu, aku tetap bertahan. Bagaiamanapun ia dihalalkan.

Tuhan, tapi apa artinya jika justru Tuhan sendiri mengatakan benci.
Langit-langit semakin menemaramkan setiap percikan cahaya. Irama nafas tersendat-sendat di garis kekalahan saat pribadi hanya bisa mengutuk masa lalu. Bibirku terus menyebut nama Tuhan, tetapi sesugguhnya dalam hatiku terus saja memintal dendam nan berkepanjangan. Beberapa teman dekat sering mengatakan bahwa aku ini sesungguhnya terserang penyakit trauma.
Anehnya trauma ini hampir datang di setiap tahunnya pada awal Ramadhan.

Tubuhku mendadak kaku dan kejang. Kenangan Reneke semakin menghajarku tanpa ampun. Jaringan sel-sel syaraf limbis diinjak-injak membentuk radang. Semakin aku berteriak kencang, sakitnya makin menyayat.

Jiwaku memang terpukul berat. Waktu itu, seringkali setiap menyelesaikan masalah, Reneke lebih mengedepankan pisau ketimbang cara berfikir yang positif. Sehingga kalau saja aku tak sigap mencegahnya, tentu saja ia sudah mati bunuh diri. Belum lagi nanti dibumbui oleh mertua yang bengis kepadaku.

Kutahan untuk tetap tenang dan mengalihkan perhatian jauh terhadap anak-anak. Jika memang Reneke tak lagi mencintaiku setidaknya aku masih punya harapan terhadap anak-anakku. Tapi bagaimana aku akan mendidiknya, jika setiap hari Reneke tak pernah puas-puasnya dengan keterbatasanku.
“Reneke…, kamu telah kehilangan kesepakatan. Bukankah dulu ketika kita akan menikah, katamu siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Toh kita akan menjawabnya secara bersama” kenangku meredakan keperihan.

Anehnya, semakin waktu, cara Reneke menyelesaikan permasalahan semakin mbulet dan di luar akal kesadaran saya. Setiap ia tidak sepaham denganku, selalu mengancam dengan bunuh diri. Jika aku katakan itu potret kekanakan akal dan imannya rasanya Reneke bukan anak yang kecil lagi ?

Pernah suatu ketika ocehan nyosor wek-wek-wek Reneke menghatam dinding ketidaksadaranku. Sejak saat itu aku pergi dari rumah dan tak pulang sampai sekarang. Aku kubur rasa sayang kepada Reneke meskipun aku tetap berusaha tidak membencinya.

***

Seterusnya, kembali aku diterkam ketakutan yang menyengat terhadap nasib Reneke dan anak-anak. Meskipun sejak kepergianku ke Malaysia mereka selalu aku kirimi ringit hampir setiap bulannya sebagai tanggung jawab seorang bapak, tetap saja saya tak pernah tahu keadaan mereka. Seperti Reneke masih merahasiakan semuanya, atau mungkin.… saya tidak tahu.
Dan tiba-tiba ribuan tumor kecil yang menggenangi otak berubah menjadi radang kerinduan tersendiri yang terus menggulung. Bergegas aku berlari ke kedai kopi. Segera kupesan kopi dan roti canai pada Nurli langgananku orang India yang dalam pengakuannya sudah lima belas tahun mengais rejeki di Malaysia.

Asap panas menyembul di atas cangkir. “Apa kabar istri dan kedua anakku di Indonesia ya …” kenangku menembus sisa waktu di antara tumpahan sayur kentang dan cuka.

“Ah, tidak ! Aku tak boleh merindukan mereka” protes hati kecilku memperjuangkan dendam.

Kali ini batinku bertempur antara dendam dan kerinduan. Di satu sisi aku sudah bertekad untuk tidak pulang ke Indonesia selama-lamanya, tapi di sisi yang lain, kerinduan itu tak bisa kubendung. “Ah, paling nanti lepas puasa dan lebaran tak ingat lagi” dendamku seperi merapatkan barisan menyusun pembelaan.

“Tapi bagaimana dengan nasib Mbarep anak pertamaku, dan Fanfan si bungsu yang lucu?” Tanya kerinduanku.

“Bagaimana perkembangan jiwanya, jika hidup tanpa kehadiran lengkap kedua orang tuanya di samping mereka? Kepada siapa mereka harus mengadu jika dinakali oleh teman-temannya, mau mengadu kepada bapaknya…tak pernah hadir di depan mereka” pikiran semakin menembus batas cakrawala yang bias.

“tidak ! tidak!” segera kutelan roti canai tanpa ampun. Kali ini aku dihempas kebimbangan.

Adzan Isya’ berkumandang terbawa angin bulan puasa. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dendamku merajai jiwa. Tapi kali ini, kerinduan itu semakin tangguh memaksaku untuk segera pulang ke Indonesia. Keputusannya, besok kutemui istri dan kedua anakku. Aku akan pulang lewat Pelabuhan Kelang, tunggu aku di Medan ya sayang …***

0 komentar:

Posting Komentar

alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu