Ini Senja Kesekian.
Hendra sudah tidak pernah menghitungnya lagi. Senja ke empat puluh limakah? Empat puluh delapan atau enam puluhan? Ah, sungguh. Hendra tidak bisa memastikan dengan tepat. Yang jelas, telah kesekian senja dia menghadapi kekosongan. Kursi taman kota telah akrab dengan pantatnya. Pantat yang selalu ditemani oleh… ah, Hendra hanya bisa mendesis.
Setiap senja. Ia selalu di taman kota ini. Penjaga taman tidak asing lagi dengan wajahnya. Orang yang selalu menyapa ramah dan tidak lupa menawarkan rokok. Penjaga taman yang selalu melihat bahwa orang itu akan mengamati kursi-kursi taman dengan seksama. Wajahnya berseri-seri bila melihat seorang gadis yang biasa menemani telah hadir. Sebaliknyalah, wajahnya teramat muram bila tiada yang datang.
Penjaga taman kota selalu menyempatkan waktunya menjelang maghrib untuk menyapa sepasang manusia yang tengah mencangkul ladang kehidupan. Namun, bila kebetulan ia tengah mengerjakan sesuatu, pasangan muda itulah yang akan menegurnya. Dan ia akan melihat bahwa pasangan itu berpisah di depan taman.
Hendra memainkan air kolam yang terletak di tengah taman dengan menyibakkan air itu dengan telapak tangannya. Di tengah kolam, patung ikan memuncratkan air ke atas yang kemudian jatuh ke kolam membangun buih-buih.
Banyak orang yang mengelilingi kolam. Tua, muda dan anak-anak. Tapi lebih banyak kaum muda. Kaum muda yang berpasangan. Sangat ceria wajah-wajah mereka. Tersenyum. Tertawa lepas. Kadang yang satu menggelitik pinggang pasangannya. Saling cubit-cubitan. Menampakkan wajah cemberut sejenak untuk kemudian bergembira lagi. Ah, Hendra menahan nafas. Dadanya terasa sesak. Ia merasa sangat iri. Ditumpahkan nafas yang tertahan dengan desahan berat. Seandainya… ia tak berani melanjutkan.
Ia bangkit. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Wajahnya memandang Barat. Semburat merah membangun istana senja. Sebagai peninggalan langkah matahari. Seolah hendak mengatakan bahwa ia besok akan kembali.
Memandang sekeliling. Orang-orang berjalan meninggalkan taman. Sebentar lagi Maghrib. Gelap, perlahan muncul. Lampu-lampu taman dan lampu-lampu jalan di depan sana telah menyala. “Ia tak datang lagi,” desis lirih Hendra.
Akankah ia datang? Akankah ia datang? Adakah kepastian? Biar tenang jiwa ini. Biar ringan langkah ini. Tapi, bagaimana bila keputusan yang muncul bukanlah yang ada di kepala? Akan tenangkah jiwanya? Akan ringankah langkahnya? Tidak! Tak mungkin! Ia telah berjanji! Ia selalu menepati. Tapi sudah berapa bulankah ia tak muncul? Masihkah harus dinanti?
Hubungan yang unik. Perkenalan di taman ini. Basa-basi berlanjut diskusi. Hampir setiap senja. Beberapa kali perbincangan, baru mereka saling mengenalkan nama. Bukan nama yang lengkap. Hanya nama panggilan yang akrab. Ia hanya mengenalkan diri: Hend. Dan gadis itu: Ann.
“Hendri? Hendrik? Hendra?” gadis itu mencoba menebak. Hendra hanya tertawa kecil.
“Tterrrserah kamu,” sahutnya pendek.
“Dan kau sendiri? Anna? Anny? Andini? Anisa?” ganti Hendra yang mencoba menebak
“Terserah kamu pula,” sahut Anny pendek membalas.
Sudah setahun lebih awal perkenalan mereka. Nama lengkap pun saling tidak tahu. Demikian pula dengan tempat tinggal masing-masing. Tentang perasaan, kesenangan dan pikiran, mengalir begitu saja lewat perbincangan-perbincangan. Perlahan tumbuh rasa kasih. Hendra mengungkapkan. Anny hanya menatap tanpa memberi jawaban. Ketika Hendra nekat menciumnya di tengah keramaian, Anny juga hanya diam. Tak bersebelah tangankah ia?
“Bagaimana kalau sekarang kita menyebutkan nama asli kita?” Hendra mencoba memberikan tawaran.
Anny hanya tersenyum. “Mengapa? Pentingkah? Kukira biarlah seperti biasa saja”
Hendra menggaruk-garuk kepalanya. Ingin ia berkata banyak. Tapi sungguh sulit mengatakannya. Ia mendehem. Anny menoleh ke arahnya. “Aku ingin berkunjung ke rumahmu,” kata Hendra,
“Pentingkah?”
Hendra terdiam.
“Kita lalui jalan kita dulu. Kita toh masih akan bertemu, bukan? Setiap hari, setiap senja, kita bertemu di sini,” kata Anny setengah menghibur diri Hendra. Hendra tetap diam.
Begitulah. Setiap senja mereka bertemu di Taman ini. Bila salah satu dari mereka tidak bisa datang, ia harus memberitahu kepada yang satunya dua hari sebelumnya. Begitulah kesepakatan. Perjalanan waktu tak terhitung lagi. Terkadang muncul kejenuhan. Sekali-kali Hendra mempunyai keinginan mengajaknya berkeliling kota. Nonton film, ke mall, ke tempat wisata, saling berkunjung ke rumah masing-masing, mengunjungi Rumah teman dan sebagainya. Ketika itu dilontarkan, Anny hanya melemparkan senyum manisnya. Lalu menggeleng pelan.
“Mengapa? Kau harus beri penjelasan,” Hendra berkata dengan nada agak tinggi sebagai pelampiasan rasa kecewa. Namun ia menyesal merasa berbuat kasar. “ Maafkan aku. Aku hanya ingin tahu penjelasanmu,”
“Setiap senja kita selalu bertemu,” demikian jawaban Anny. Bukan jawaban yang diharapkan Hendra.
“Lama-lama kita bisa bosan bertemu di tempat yang sama. Mampu berapa lama?” ucap Hendra dengan wajah murung.
“Kau sudah bosan?”
“Bukan begitu,” elak Hendra. “Salahkah bila aku mengenal keluargamu dan kau mengenal keluargaku. Salahkah bila kawan-kawan mengenal kita? Salahkah bila aku berharap tidak hanya senja?” Anny kembali tersenyum.
“Suatu saat kita akan jalani,” Hanya itu jawabannya. Hendra semakin tidak puas. Tapi tak bisa memaksa lebih jauh lagi.
Hendra diam. Banyak pertanyaan menggumpal di kepala. Siapakah sesungguhnya Anny? Begitu misteri. Apa yang sesungguhnya ia sembunyikan? Keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terus membayangi sepanjang waktu. Untuk mengetahui lebih banyak ia merasa tak mempunya jalan.
Ia telah berusaha membuntuti Anny selepas dari taman. Tapi Anny selalu tahu. Ia akan berdiri di pinggiran jalan dan tidak naik kendaraan apapun selama ia masih menguntit. Hendra mencoba mencari jalan lain. Ia mengikuti dari jauh. Anny berjalan, menaiki bus kota, dan ia membuntuti. Namun entah kenapa, setelah lama membuntuti, tak pernah ia melihat Anny turun dari bus itu, walaupun sudah sampai di terminal akhir dan tak ada seorangpun lagi. Sekali dua kali mengalami, ia masih merasa ada kelengahan. Namun lebih dari dua puluh lima kali hal serupa dialami. “Ada yang aneh,” pikirnya.
Terkadang ia berpikir untuk memutuskan hubungan dengan Anny. Apa gunanya? Hanya sekedar bertatap muka, bicara, bercanda, di sepenggal waktu setiap senja. Tak lebih dari itu. Namun bayangan Anny telah mencengkram kuat di kepala. Tak mudah untuk dilupakan. Ia terus mengikuti setiap langkah perjalanannya. Anny terasa bagian dari jiwanya. Suara adzan Maghrib membuyarkan lamunannya. Dengan langkah terseok Hendra berjalan meninggalkan taman. Tatapan mata penjaga kelihatan iba kepadanya. Ingin ia menghibur. Tetapi dirasa tak ada kesempatan yang pas. Apalagi, apalah guna seorang penjaga taman? Setiap langkah adalah dugaan-dugaan mengenai Anny. Sakitkah ia? Ia yang bosankah? Atau sudah kawin? Atau selama ini ia hanya memainkannya saja? Anny selalu mengelak untuk berjalan lebih jauh dan memberikan alasan-alasan tanpa bisa ia gugat.
“Tidak! Anny pasti mencintaiku. Ia pasti akan datang!,” Hendra memberikan keyakinan dalam dirinya. Begitulah. Setiap senja Hendra selalu hadir di taman. Menanti Anny. Setahun, dua tahun, tiga tahun, dan… Ya, begitulah.
Hendra selalu setia menunggu. Sampai kini ia telah menjadi tua. Kita bisa melihatnya di taman setiap senja. Itulah yang diceritakan anak muda penjaga taman ketika kutanya tentang seorang laki-laki tua yang sering kujumpai di taman. Cerita mendetail yang didapat dari kakeknya, yang dulu adalah penjaga taman, yang sering ditawarkan rokok oleh lelaki itu.
Cerita cinta yang mengharukan. Menggugah perasaanku. Tapi tiba-tiba, tubuhku bergetar hebat. Aku sering menjumpai lelaki tua itu setiap senja, karena pada saat itulah aku mengunjungi taman ini pula. Dan ceritanya, tak berbeda jauh denganku. Aku tengah menanti kekasihku: Anny!
Tak jauh beda. Tak jauh beda. Tak jauh beda kisahku dengan lelaki tua itu. Hanya beda masa. Siapakah Anny? Semakin misteri buatku. Tapi aku tetap berkeyakinan ia akan datang. Dan aku tetap setia menanti Anny. Di Setiap senja, di taman ini!
“Penantian bukanlah sebuah harapan, akan tetapi penantian bisa menjadi ujung dari sebuah kisah kita hidup didunia ini marilah kawan kita merubah penantian menjadi sebuah harapan yang membuat kita untuk lebih maju menjadi kuat dalam menjalani hidup yang amat sangat terasa berat ini” (SHU)
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!