WeLcOmE CoMrAdE
Save The World Today
____Enjoy Your Live Today *BECAUSE* Yesterday Had Gone And Tomorrow May Never Come____
continue like this article, although the road is full of obstacles and temptations

Guru Hasim

| Kamis, 22 April 2010 | |
Setelah bekerja pada sebuah Sekolah Dasar, Guru Hasim, begitu bapak dari dua anak ini, puluhan buku bekas sekolah dan kuliahnya serta beberapa majalah dan Koran yang sudah lecek tak pernah dibacanya kembali. Bahkan kitab sucinya Al-quran yang dijadikan hadiah mahar saat menikahi Subiyanti istrinya, pun tak disentuhnya lagi. Ia hanya digantung di atas soko yang terbuat dari kayu jati. Setiap pagi istrinya selalu membersihkan serpihan debu buku yang sudah semakin habis dimakan rayap.

Sepertinya, cita-citanya telah usang setelah Tuhan memang pernah mempermudahkannya menjadi guru. Namun nasibnya diberikan keberuntungan yang jarang dimiliki kebanyakan orang, dimana kerapkali mati-matian harus membeli status pegawai negeri dengan uang sogokan sekitar 15-45 juta rupiah.

Sekarang, meskipun Guru Hasim tak lagi menghabiskan banyak waktunya untuk membaca, sepertinya alasannya terlalu sibuk mengajar, tapi dia tak pernah membunuh harga diri saat harus mengganjal perut. Darahnya adalah wujud keberanian cita-citanya yang pernah diplitur pada harapan anak-anaknya. Pantang baginya menjilat seperti teman-temannya yang lain. Dia tetap senang menajaga aliran darahnya agar bening. Tidak dikotorinya dengan makanan haram.

Sekarang dia sudah menjadi guru teladan, bahkan sebentar lagi menjadi kepala sekolah.

Bertahun-tahun menjadi bawahan pada sekolah tempat dia menggali harta karun, Guru Hasim memang nampak geram. Pasalnya lingkungan sekolahnya termasuk teman-teman mengajarnya, selalu saja tak pernah greget dalam mengurusi pendidikan. Hari-harinya urusannya hanya dari siswa ke gaji melulu. Mengajar pun dari dulu itu-itu saja, hampir sama sekali tak ada yang berubah. Setelah lulus, anak-anak didiknya masih saja goblok-goblok.

Hampir tak ada yang bisa menyelesaikan hidupnya dengan baik. Rata-rata masih manja sama orang tua. Minta susu dan disusui. Jika ditinggalkan pergi ke pasar masih merengek, padahal mereka sekarang sudah ada yang kuliah.

Seakan semua ilmu yang diajarkan seperti bocor terus menerus. Bahkan kedongokan pun seringkali terjadi. Ketika anak-anak telah lepas SD masuk di SMP, pernah guru SMP-nya bertanya tentang arti bahasa Inggrisnya What ke dalam bahasa Indonesia mengenang kembali pelajaran sewaktu masih di SD. Jawabnya tidak ada yang juntrung.

“Ya, lantas salah siapa, gurunya…?” pernah Guru Hasim introspeksi dalam hati. Mbingungi….

Ada yang kehilangan ongkos ketika harus pulang ke rumah selepas sekolah, sementara jarak rumahnya dengan sekolahan hampir sepuluh kilo meter jauhnya. Berat rasanya kalau harus jalan kaki. Di sekolah tidak pernah ada pelajaran menyelesaikan kasus seperti ini. Minta tolong sama sopir untuk tumpangan gratis malah dibentak.

“Sekolah nggak punya modal, sana minta duit sama guru… memangnya diajari apaan di sekolah. Nyari duit 1000 rupiah saja nggak becus, Sekolah itu biar pintar nyari duit. Bukan malah nyebelin…”, katanya.

Bahkan pada suatu ketika, ada juga yang sekolah saja sudah nggak bayar, karena orang tuanya miskin. Tapi belajarnya masih saja nggak pernah sungguh-sungguh. Malah anehnya gurunya slalu saja memperjuangkan dan membelanya dengan mengadakan Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Sampai sekolah harus Gratis. Sebenarnaya Guru Hasim sangat menolak dengan ide itu. Menurutnya itu sekolah menjawab soal, bukan menyelesaikan masalah.

“Konyol… !”, keluhnya.
Makanya Guru Hasim pernah protes saat rapat dengan BP3, “Lha kalau sekolah saja sudah gratis. Bisa dibayangkan bagaimana dengan pelaksanaan Proses Belajar Mengajar-nya. Jangan-jangan semua juga gratis. Mau makan apa ? batu ? Sekolah kok diajari manja. Gurunya pun paling hanya bisa bertahan dua sampai tiga bulan. Bagaimana mau mengajar kalau tidak digaji? Mau makan keikhlasan…, makan tuh sorga …! Buat dong sekolah yang berkualitas dengan harga terjangkau. Artinya. Tetap ada konsekwensi. Tertaanam pada pikiran murid. Bahwa ilmu itu mahal, maka mencarinya harus sungguh-sungguh. Tidak asal-asalan.
***

Senja, dikala Guru Hasim leyeh-leyeh menunggu adzan maghrib dipelataran masjid al-Barakah dekat rumahnya, Kartini anak ibu Shese datang menghampirinya menawarkan dagangan pisang gorengnya. Tubuhnya kecil tapi dia nampak lincah dan cerdas. Tak ada goresan duka di mukanya.

“Gorengan Pak Guru ?”

“Boleh …” jawab Guru Hasim.

“Berapa satunya ?” tanya Guru Hasim selanjutnya sembari memilih-milih.

“Semuanya sama Pak rasanya, manis dan gurih. Gorengnya pakai telur” jawab Kartini tidak langsung menjawab harga.

“Jadi …”

“Bapak rasakan dulu, pasti enak …” Kartini sedikit merayu. Nampak bibirnya selalu tersenyum. Meskipun kulitnya agak hitam tapi nampak cukup manis. Banyak orang yang jajan dengannya.
Kartini sangat ramah. Bahasanya lembut dan santun. Setiap hari dagangannya selalu habis.

“Kamu belajar dagang darimana …” Tanya Guru Hasim penasaran.

“Saya dulu pernah sekolah sampai kelas satu SMP tapi lantas keluar, tak ada biaya …” jawabnya.

“Orang tuamu kerja apa ?”

“Ngajar juga sama seperti Bapak …, tapi nggak pernah kaya-kaya …”

“Memangnya kalau kerja ngajar harus kaya ?” Tanya Guru Hasim balik.

“Saya malu Pak, Bapak sudah kawin lagi. Sekarang nggak tahu dimana rimbanya. Ibu saya nggak pernah dikasih uang. Sementara Ibu sendiri, di sekolah ngajar Ekonomi. Bicaranya tentang laba dan rugi melulu. Tapi gajinya sangat kecil. Tempat ibu mengajar rata-rata murid-muridnya tidak bayar. Gratis. Sekarang ibu saya sealalu makan hati”.

“Kamu kok cerdas sih nak, siapa nama kamu ?”

“Kartini”

Guru Hasim selanjutnya minta dibungkuskan 10 gorengan.

“Berapa harganya ?” Tanya Guru Hasim balik.

“Rp. 5000” jawab Kartini dengan rendah hati.

“Oh ya Kartini…, boleh Bapak tanya satu hal …”

“Boleh Pak, apa itu …”

“Kenapa kamu nggak sekolah ?”

“…….” Kartini hanya diam. Dan dari bibirnya terlintas sesungging senyum agak sedikit malu.

“Tapi kamu pasti sekarang banyak duit, dari dagang gorengan ini kan …” Guru Hasim menghibur Kartini, kwatir dia tersinggung.

“Ya Pak, saya sudah nggak bisa sekolah …, lagipula sekolah nggak bisa memberiku duit” jawabnya malah menggeramkan hati Guru Hasim, meskipun sebenarnya adalah pukulan.

“Kamu salah memahami sekolah, Kartini …”

“Tidak.. Pak, saya selalu membaca buku di Perpustakaan Kota

Tangerang setiap hari Rabu, satu minggu sekali. Saya juga punya kartu perpustakaannya …, saya sekolah otodidak di sana …” sergah Kartini menyemburat kecerdasnya.

Guru Hasim terkejut. Selama empat puluh delapan tahun dia bermukim di Kota Tangerang tak pernah menginjak yang namanya perpustakaan. Alamatnya pun nggak tahu. Sadar dia kalau selama ini hanya bergantung pada buku sekolah yang disusun kurikulum.

“Kartini … kamu lebih teladan daripada saya …, kamu telah memberi wejangan saya…” tiba-tiba kesadaran Guru Hasim jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Adzan maghrib belum datang. Kembali Guru Hasim menikmati gorengan sendirian. Dia nampak lahap. Sepertinya gorengan Kartini memang enak.
Lantas nampak Guru Hasim sejenak berfikir mengenang pertemuannya dengan Kartini.

“Betul juga apa kata Kartini …, sekolah sesungguhnya tak pernah diajari menjawab kehidupan. Hari-hari hanya teori melulu. Pantas Paulo Freire pernah bilang bahwa sekolah itu candu. Buat apa sekolah kalau hanya bisa mengeluh terus menerus. Mending seperti Kartini… jelas. Dia tak kelihatan guratan takut pada hidup. Tidak seperti saya dan teman-teman guru lainnya.

Meskipun jatah gaji ada dari pemerintah. Tapi perasaan kurang selalu saja muncul…, bahkan yang terjadi adalah selalu mengeluh terus-menerus… pantas kami banyak yang mudah strok dan mati mendadak. Padahal kami guru” ,kenangnya selanjutnya sembari menghabiskan gorengan yang tersisa satu.

Rumahnya Guru Hasim nampak sepi, sebab setelah Krakatau dinyatakan aktif istri dan anak-anaknya jaga-jaga ngungsi ke tempat neneknya di Pati. Menyusul adzan maghrib datang berkumandang. Maksud hati Guru Hasim hendak mengambil wudhu. Tapi perutnya kekenyangan setelah makan sepuluh biji gorengan yang dibelinya dari Kartini. Akhirnya Guru Hasim masuk kamar dan tidur melanjutkan cita-citanya dalam mimpi.

***

“Katanya Guru teladan Sim…? Sholat ! Sholat ! Malu dong sama murid kamu Minkhairi …” teriak Jin Erot tiba-tiba membentaknya selintas dalam mimpi.

Hasim terkejut dan terbangun. Ternyata sudah pagi.

0 komentar:

Posting Komentar

alangkah baik'y bila anda meninggalkan jejak dibawah ini..!!

Masukkan email untuk update:

Delivered by FeedBurner

DoDoT_KeCiL_MaSiH_YaNg_DuLu